Wednesday, July 08, 2009

Antiklimaks “Pesta” Demokrasi Indonesia

Hasil quick count sementara hari Rabu, 8 Juli 2009 sore ini bahwa SBY hampir dipastikan terpilih kembali sebagai Presiden RI bagi saya merupakan sebuah antiklimaks dari sebuah prosesi “pesta demokrasi”. Saya beri tanda kutip, karena memang Pemilu Indonesia tidak layak disebut sebagai pesta demokrasi.

Pertama bahwa penyelenggaraan Pemilu kali ini adalah yang paling kacau dalam sejarah Indonesia pasca reformasi. Persiapan KPU yang kacau balau dengan DPT yang kisruh, nama calon pemilih yang muncul dobel, banyak muncul nama orang yang sudah meninggal, di lain pihak banyak warga namanya tidak tercantum dalam DPT.

Kedua, bahwa tidak nampak adanya upaya dari KPU atau pemerintah untuk melakukan pembenahan atas berbagai laporan kejanggalan DPT dan keanehan-keanehan lainnya (contoh kasus misalnya surat suara yang belum dipakai ternyata sudah dicontreng). Hal ini menggoda kita untuk menduga bahwa pemerintah (baca presiden incumbent) membiarkan kekacauan tersebut karena mengambil keuntungan darinya.

Ketiga, bahwa nampaknya rakyat Indonesia belum bisa menetapkan pilihan secara logis dan didasari pertimbangan yang matang. Sejauh ini saya coba “mencari tahu” apa yang menjadi pilihan masyarakat. Ternyata banyak orang yang saya tanyai memilih SBY dengan alasan bhw beliau ganteng dan gagah (setidaknya bila dibandingkan dengan JK).
Banyak orang menolak Megawati karena beliau perempuan.

Saya kira itu bukan pertimbangan logis dalam memilih seorang pemimpin. Sulit masuk akal sehat bagaimana memilih seorang calon presiden hanya karena perawakan ganteng dan gagah. Atau menolak seorang hanya karena dia perempuan atau karena perawakan kecil dan tidak menarik. Hal yang sama terjadi pada saat Gus Dur menjadi presiden, saya ingat banyak sekali orang mencemoohkan beliau hanya karena buta.

Agaknya bangsa Indonesia belum bisa menggunakan hak pilih secara bijak, bagaimana menentukan pilihan dengan pertimbangan logis. Saya kira akan lebih tepat bila kita menilai seorang bukan dari fisik tapi dari visi dan misinya, gagasan-gagasan, ide dan konsepnya. Bila kita cermati rangkaian debat antar capres yang ditayangkan di TV, maka saya kira bukan SBY yang menjadi pemenang dalam kompetisi itu.

Apapun yang terjadi, “pesta” sudah usai, pemimpin sudah dipilih, tak ada guna menyesal karena tak akan mengubah keadaan.

Hanya kaum bodoh akan memilih pemimpin bodoh, hanya kaum penakut akan memilih pemimpin penakut. Mudah-mudahan bangsa Indonesia bukan bangsa bodoh dan penakut.