Saturday, May 26, 2018

Krisis Nalar

Sadar atau tidak, kita sebetulnya saat ini sedang mengalami krisis nalar yang luar biasa parah.  Apa contohnya ? banyak, tak terbilang banyaknya.Silakan saja Anda baca koran, atau baca berbagai posting di media sosial.

Kenapa hal itu terjadi, saya menduga karena kepentingan pribadi, khususnya dalam perebutan kekuasaan (bukan sekedar pilpres) tahun 2019.  Hasrat untuk berkuasa ternyata menumpulkan nalar dan mengurangi kemampuan berpikir.

Saya ambil satu contoh saja, pernyataan Gatot Nurmantyo bahwa "...mengidentikkan teroris dengan Islam adalah diskriminasi..." Ini jelas pernyataan tendensius dan tak bernalar.  Pertanyaan saya, siapa yg mengidentikkan teroris dengan Islam ?   Faktanya para pelaku teror memang anggota organisasi keagamaan.  Contoh paling nyata adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yg dari nama organisasinya saja sudah jelas menyebutkan kata "Islam".    ISIS tak ragu-ragu melakukan berbagai teror, termasuk memenggal kepala orang sambil membawa-bawa simbol Islam.

Yang perlu menjadi perhatian menurut saya, bukanlah soal teror itu identik dengan agama apa, tapi bagaimana masing-masing pemuka agama mendidik dan mencerdaskan umatnya agar tidak menjadi pelaku teror.  Faktanya banyak pemuda Indonesia yg tertarik bergabung dengan ISIS, hal itu menunjukkan bahwa para pemuka agama telah gagal mendidik umatnya khususnya kaum muda untuk beriman secara benar dan cerdas.

Kesadaran akan perlunya mendidik umat agar beriman dengan benar dan cerdas hanya bisa dilakukan bila ada kesadaran dan pengakuan dari masing-masing pemeluk agama, bahwa memang ada yg salah, bahwa memang ada bahkan banyak pelaku teror dari kelompok agamanya, itu suatu hal yg harus diakui dan tidak perlu dibantah.



Saya cuplik pernyataan menarik dari satu posting di media sosial. Perlu jiwa besar dan nalar untuk mengakui ada yg salah dengan diri kita, dan bagaimana kita mengatasi masalah tersebut.



Saturday, May 19, 2018

Indonesia Mengerikan

Tidak hanya Jakarta yg mengerikan, tapi Indonesia ternyata juga (bahkan lebih) mengerikan lagi.

Rangkaian teror mulai dari kerusuhan di Mako Brimob, disusul pemboman di tiga gereja di Surabaya, kemudian bom di Polrestabes Surabaya terakhir bom di Polda Riau jelas merupakan teror yg mengerikan bagi kita.

Tapi tidak hanya berhenti di situ, teror masih berlanjut di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Ini bagian yg (menurut saya) tidak kalah mengerikan. Bagaimana ada orang yg bisa-bisanya tertawa melihat korban tewas karena bom, ada yg menuduh peristiwa itu hanya rekayasa polisi, entah untuk mendiskreditkan Islam atau mendapatkan dana untuk pemberantasan terorisme atau entah apa lagi.

contoh teror di media sosial


Sungguh mengerikan melihat masyarakat yg sdh hilang nalar dan hati nuraninya, dengan alasan (saya duga) persaingan politik untuk mencapai kekuasaan, yg lebih parah lagi sdh diwarnai dengan kebencian.

Namun di lain pihak harus diakui bahwa pemerintah sendiri punya andil juga dalam tragedi ini, terutama institusi kepolisian yang harus diakui tidak sepenuhnya bersih. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi sangat rendah dan hal ini disebabkan oleh ulah oknum anggotanya sendiri. Banyak kasus terjadi yg menimbulkan kesan polisi tdk sungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi (contoh kasus korupsi pelat nomor mobil) atau kasus Novel Baswedan yg hingga hari ini tdk jelas).

Polisi juga tdk transparan, kasus kerusuhan di Mako Brimob adalah contoh jelas bagaimana polisi tdk transparan, bahkan terhadap pemerintah sekalipun apalagi terhadap masyarakat. Lebih jelasnya Anda bisa baca reportase Mingguan Tempo.

Tapi sekali lagi, betapapun ada krisis kepercayaan pada kepolisian, adalah mengerikan dan sadis jika ada pihak-pihak yang justru merasa senang dengan teror yg terjadi, bersyukur atas kematian anggota polisi sungguh biadab dan tak berperikemanusiaan.

Mengerikan sekali melihat aura kebencian dan kebengisan para teroris dan pendukungnya, yang bisa jadi adalah tetangga kita atau rekan kerja kita di kantor. Mengerikan melihat bagaimana kebencian itu dipupuk, disuburkan, disebarkan. Lebih mengerikan lagi bahwa bibit-bibit kebencian itu diam-diam menyebar ke mana-mana, ke banyak orang, ke banyak tokoh termasuk para pemuka agama yg seharusnya mendidik dan mencerdaskan umat.  Lebih mengerikan lagi melihat pemerintah dan aparat kepolisian seolah tutup mata melihat itu semua.