Thursday, January 22, 2015

Halo Polisi "Gendut" (2)

Masih terkait pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Kompas edisi hari ini Kamis, 22 Januari 2015 memuat pernyataan Dai Bahtiar mantan Kapolri, bahwa sebaiknya Polri tidak bersikap konfrontatif ke KPK. Lengkapnya saya kutip sbb: "Polri harus merangkul KPK, merangkul Kejaksaan Agung. Dulu memang pernah ada konflik antara Polri dan KPK, yg sering disebut sebagai 'cicak vs buaya'. Tinggalkan itu, lupakan itu. Sesama penegak hukum harus saling menghormati dan saling bekerja profesional, baik itu Polri, Kejaksaan Agung dan tentunya KPK"

Menurut saya tidak ada yg baru dari pernyataan Dai Bahtiar, tidak ada yg istimewa, tidak menggigit dan tidak banyak manfaatnya.  Menurut saya kerja sama Polri dengan KPK itu mudah saja dilaksanakan sejauh Polri punya tekad yg sama memberantas korupsi.

Jenderal Dai Bahtiar harus ingat perseteruan 'cicak vs buaya' dulu yg memulai juga bukan KPK, tapi Polri. Saat itu Jenderal Susno Duadji yg merasa terusik dengan langkah-langkah yg dilakukan KPK, sampai melontarkan istilah 'cicak vs buaya'.   Berikutnya kasus penyidik KPK yg berasal dari Polri lalu ada pendudukan kantor KPK oleh Polri, semua "perseteruan" atau "perselisihan" antara KPK dengan Polri bukan KPK yg memulai.

Di lain pihak, ada banyak hal yg sebetulnya bisa dilakukan oleh Polri, kalau, sekali lagi kalau Polri serius dalam memberantas korupsi.

Yang pertama-tama dan paling penting adalah bagaimana Polri menindaklanjuti masalah "rekening gendut" yg dimiliki para petinggi Polri.  Semua Jenderal pemilik rekening gendut harus bisa menjelaskan dari mana kekayaan tersebut mereka dapatkan.  Termasuk juga menjelaskan banyak kejanggalan yg lain (misalnya kasus Labora Sitorus, bintara polisi di Papua yg memiliki dana sebesar Rp 1,5 Trilyun di rekeningnya).  Itu harus dijelaskan secara terbuka dan transparan ke publik.

Polri harus membuktikan itikad baiknya memberantas korupsi, dengan pertama-tama membersihkan dirinya sendiri, memberantas korupsi di internal Polri.  Seandainya soal rekening gendut ini bisa di-clear-kan, Saya yakin itu merupakan langkah awal yg sangat berarti.

Jika Polri bersih dan punya tekad memberantas korupsi saya yakin kerja sama dengan KPK dan Kejaksaan Agung adalah hal yg mudah sekali dilakukan. 


Cuplikan berita di Harian Kompas, 21 Januari 2015. Labora Sitorus belum juga ditahan padahal vonis dari Mahkamah Agung sudah dijatuhkan sejak September 2014.

Halooooo Polisi, mana bukti keseriusan Anda memberantas korupsi ?
mulailah dari diri Anda sendiri dulu.
   .  

Monday, January 19, 2015

Halo Polisi "Gendut"

Posting ini saya buat sebagai tanggapan atas pencalonan Komisari Jenderal Budi Gunawan sebagai KAPOLRI oleh Presiden Joko Widodo.

Bagi Anda para polisi, khususnya Anda yg memiliki rekening "gendut", silakan Anda berkaca dan jujur pada diri sendiri, apakah harta kekayaan Anda diperoleh melalui cara yang sah dan halal, atau sebaliknya ?   Institusi Anda boleh saja menyatakan Anda bersih, tapi apakah betul Anda bersih ?, tidak usah dijawab, silakan jujur pada diri Anda sendiri.

Apakah masuk akal, jika seorang Jenderal polisi memiliki kekayaan hingga puluhan bahkan ratusan milyar.  Berapa gaji seorang Jenderal Polisi, seandainya separuh saja gaji Anda ditabung, apakah akan terkumpul kekayaan sebesar ratusan Milyar dalam sekian tahun ?   Jika Anda berbisnis, bisnis apa yg Anda jalankan, dari mana modal Anda, beranikah Anda secara terbuka melaporkan perkembangan bisnis Anda sejak mulai dirintis hingga saat ini.

Kasus Labora Sitorus, seorang bintara polisi dari Papua lebih luar biasa lagi, bayangkan seorang polisi berpangkat AIPTU (Ajun Inspektur Polisi Satu) atau setara dengan Pembantu Letnan Satu di TNI AD memiliki simpanan senilai Rp 1,5 Trilyun di rekeningnya. Darimana kekayaan sebesar itu ? mustahil bahwa pimpinan atau komandan tidak tahu kegiatan apa yg dilakukan oleh bawahannya, apalagi hingga menghasilkan uang dalam jumlah sebanyak itu.

Saya tidak ingin menghakimi, silakan saja proses hukum berjalan, silakan Anda membela diri, tapi apapun hasil dari proses hukum yg berjalan, saya hanya ingin mengetuk pintu hati Anda, jujurlah pada diri Anda sendiri. Masyarakat mungkin bisa dibohongi, hukum mungkin bisa diatur, jaksa dan hakim bisa Anda bayar, tapi Anda tidak bisa membohongi diri sendiri.

Bayangkanlah Saudara-saudara kita yg hidupnya berkesusahan, anak-anak yg tidak dapat bersekolah, bayi-bayi yang tidak mendapatkan gizi, bapak dan ibu yang bekerja keras membanting tulang seharian untuk menyambung hidup.  Sementara Anda mempunyai kekayaan berlimpah yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya. Hidup Anda nyaman di rumah yg megah, dan hebatnya lagi Institusi Anda menyatakan bahwa Anda bersih.

 Seorang buta penjual kerupuk, saya ambil gambarnya pada saat sedang melayani pembeli. (lokasi Jl Barkah, Jakarta Selatan, Oktober 2014)
   


Friday, January 16, 2015

Beriman Secara Cerdas

Saya merasa - entah benar, entah tidak -  bahwa semakin lama kehidupan beragama dan/atau toleransi beragama kita di Indonesia mengalami kemunduran.  Setidaknya itu yg saya rasakan, kalau saya bandingkan dengan keadaan waktu saya kecil (SMP - SMA) atau waktu kuliah dulu (beberapa belas tahun yang lalu).

Sepertinya masyarakat semakin terkotak-kotak, dan salah satu kotaknya adalah agama.  Terasa kental sekali pada saat pemilihan presiden kemarin, isu agama menjadi salah satu senjata untuk menjatuhkan lawan.  Hal serupa juga terjadi pada saat pemilihan gubernur DKI tahun 2007, terasa kuat sekali isu agama digunakan.  Sekarangpun sekelompok anggota masyarakat berusaha "menjatuhkan" Ahok, gubernur DKI dengan isu agama.

Kalau boleh saya berpendapat (mohon maaf jika terdengar kasar), bangsa kita tidak cerdas, malas berpikir, malas berpikir membuat kita menjadi bodoh, hilang sikap kritis, akhirnya mudah dihasut dan percaya begitu saja pada pandangan orang lain, meskipun argumennya lemah.

Sekali lagi menurut saya seharusnya kita beriman secara cerdas, apapun agama yg kita anut.  Cerdas dalam arti secara kritis memahami perintah agama berikut konteksnya.  Sekali lagi konteksnya.  Saya percaya bahwa apapun yg diperintahkan oleh agama (agama apapun), ada latar belakangnya ada konteksnya.  Menjadi kewajiban kita untuk mencari tahu konteks perintah tersebut.

Saya ingin memberi beberapa contoh, Islam mengijinkan poligami sampai maksimum 4 istri.  Dalam konteks apa poligami ini diijinkan ?  Tentu bukan untuk menuruti hawa nafsu, bisa menikahi banyak perempuan muda dan cantik.  Nabi sendiri adalah pelaku poligami tapi dalam kondisi apa, itu yg perlu kita pahami.

Contoh lain misalnya, ada hadits yang berbicara tentang jangan memilih pemimpin non muslim. Ini juga harus kita pahami konteksnya.  Dalam kasus ada banyak calon pemimpin muslim yg baik, saleh dan berkualitas, tentu lebih baik kita memilih pemimpin muslim.  Tapi dalam kondisi misalnya hanya ada dua calon: yg satu muslim tapi koruptor dan gemar "bermain perempuan" sementara satu lagi adalah non muslim tapi jujur, bersih dan berkompeten. Mana yg akan kita pilih ?

Dalam agama lain hal yg sama saya kira terjadi juga. Kristen misalnya tidak mengijinkan perceraian. Nah kalau misalnya suami Anda adalah seorang pemabuk, penjudi sekaligus penggangguran tak bertanggung-jawab, apakah Anda tetap akan mempertahankan perkawinan Anda.  Apakah mau menunggu sampai suami Anda bertobat ?

Contoh lain, saya ingin mengutip pernyataan Ustad Felix Siauw (saya ambil dari Twitter) sbb: "...membela nasionalisme gak ada dalilnya, gak ada panduannya, membela Islam jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya..."  Membaca pernyataan seperti ini, kita harus kritis, meskipun diucapkan oleh seorang ustadz, apakah pernyataan itu bisa diterima, apakah masuk akal, apa dasarnya, dalam konteks apa, apakah ada konteks dimana pernyataan tersebut sahih ?   Sebagai pembanding, untuk memanfaatkan dan mengembangkan nalar yg kita miliki, silakan cek ulasan dari Warung Nalar.

Kejanggalan yg mirip terjadi juga di kalangan Kristen. Baca twit dari Pendeta Gilbert Lumoindong "Yoga bukanlah olah raga, yoga adalah penyembahan, anak-anak Tuhan hindarilah yoga, untuk tenang cukup berdoa, bukan dengan Yoga, TUHAN CUKUP.." saya tidak ingin berkomentar soal ini, silakan Anda gunakan nalar untuk menilai apa yang dikatakan oleh Gilbert.

Berikutnya ada sebuah blog yg memuat antara lain "Jual Beli yg Dilarang dalam Islam", perhatikan butir ke-3, saya kutip sbb: Di antara jual beli yang dilarang ialah, menjual berbagai macam alat musik.
Seperti seruling, kecapi, perangkat-perangkat musik dan semua alat-alat yang dipergunakan untuk perbuatan sia-sia. Meskipun alat-alat itu diberi istilah lain, seperti alat-alat kesenian. Maka haram bagi kaum muslim untuk menjual semua alat dan perangkat-perangkat itu. Seharusnya alat-alat tersebut dimusnahkan dari negeri kaum muslimin agar tidak tersisa. 


Silakan Anda mencerna dengan logika dan nalar Anda, kutipan blog di atas. Kenapa alat musik dikatakan haram, apa dasarnya.....

Diskusi ini bisa dilanjutkan hingga ke mungkin puluhan atau ratusan contoh lainnya. Dan semuanya adalah hal yg nyata kita alami dalam hidup sehari-hari.

Sekali lagi saya ingin mengajak kita semua untuk bersikap kritis, Allah menganugerahi kita otak untuk berpikir, gunakanlah itu.   Sayang sekali kita punya otak kalau tidak digunakan.

Kalau kita mampu berpikir kritis, meletakkan segala hal pada tempat dan konteksnya, maka kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya tidak ada masalah.  Karena apa yang diajarkan oleh agama itu pasti baik, hanya kita saja yang salah menafsirkan.

Mari kita beriman secara cerdas, mudah-mudahan bangsa ini bisa menjadi maju, adil dan makmur. 

Monday, January 12, 2015

Chalie Hebdo, ISIS dan FPI


Seminggu terakhir ini, dunia dikejutkan dengan peristiwa penembakan terhadap jajaran redaksi Charlie Hebdo di kantor mereka di Paris, yang menewaskan 12 orang termasuk seorang muslim polisi Perancis, serta melukai 10 orang lainnya. 

Saya tidak ingin membahas peristiwa penembakan tersebut, yang saya ingin bahas adalah reaksi publik atas peristiwa tersebut.  (serta bagaimana menurut saya seharusnya kita bereaksi).

Pertama-tama kita perlu membayangkan seperti apa kira-kira jajaran redaksi atau para pengelola majalah Charlie Hebdo ini.  Dari cara mereka menghina agama (tidak hanya agama Islam tapi juga Kristen dan Katolik, jelas sekali bahwa mereka atheis.  Melalui berbagai kartun dan gambar itulah mereka mengejek  kaum beragama (apapun agamanya).

Berhadapan dengan kaum atheis, kita yg (mengaku) beriman dan beragama ini harusnya mengalah.  Pada saat kaum atheis mengolok-olok Nabi (secara tidak langsung juga mengolok-olok Allah), pada saat itulah mereka memamerkan kegilaan mereka, kegilaan dan kebodohan karena mereka menolak menyadari bahwa kita manusia adalah ciptaan Allah, menolak mengakui adanya Allah Sang Maha Pencipta.

Di titik inilah saya berpandangan bahwa apa yg dilakukan oleh Charlie Hebdo itu tak perlu ditanggapi oleh semua mereka yg beriman.   Ibarat seorang anak balita yg melemparkan kerikil ke orang dewasa.

Di lain pihak, pada saat yg sama kita juga melihat gerakan-gerakan ekstrim yang mengatas namakan agama, contoh yang paling jelas saat ini adalah gerakan ISIS di Irak & Suriah.

Apa yang dilakukan oleh ISIS jelas jauh lebih berbahaya daripada Charlie Hebdo.

Pertama: Charlie Hebdo tidak pernah membunuh, kejahatan mereka adalah menistakan agama dan/atau nabi dan/atau Allah.  Kejahatan Charlie Hebdo sebatas melalui kertas, pena dan tinta bukan senjata dan pedang. Bandingkan dengan ISIS, kelompok ini sudah membunuh lebih dari 2.000 orang baik itu Kristen maupun Islam sendiri, termasuk anggota mereka yg hendak keluar dari kelompok.

Kedua, pada saat melakukan kejahatannya, Charlie Hebdo tidak pernah menyerukan nama Allah atau
mengatasnamakan agama.  Bandingkan dengan ISIS, jelas-jelas mereka menyebutkan Islam dan menggunakan simbol-simbol Islam.

Ketiga, apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo sama sekali tidak menyebabkan citra Islam (atau Kristen) menjadi rusak, pada saat membuat dan mempublikasikan gambar-gambar yg menghina nabi, citra nabi tidak menjadi rusak, yg rusak dan tetap rusak adalah Charlie Hebdo sendiri, sebagai kelompok yang tak berakhlak.   Bandingkan dengan ISIS, apa yg dilakukan oleh ISIS jelas mencoreng nama harum Islam sebagai agama yg cinta damai dan kehidupan.

Saya ingin mengajak Anda untuk berpikir jernih, bukan maksud saya untuk membela Charlie Hebdo, biarlah Charlie Hebdo hidup di Perancis, dan tunduk pada hukum Perancis, salah satu negara sekuler (atau atheis ?) di atas muka bumi ini.

Saya ingin mengajak kita semua untuk berpikir jernih, tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi melihat penistaan agama (kalau itu disebut sebagai penistaan), pada saat Charlie Hebdo menistakan nabi, tidakkah mereka sedang menistakan diri mereka sendiri ?.

Lalu apa hubungannya dengan FPI, menurut Anda apakah FPI itu membela Islam atau justru sebaliknya menistakan agama Islam ?