Friday, December 27, 2013

Belajar dari Malaysia (3)

Menjelang akhir tahun 2013 ini, saya bertemu dengan seorang teman yg sudah hampir tiga tahun tinggal dan bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia.  Dia pulang ke Indonesia untuk merayakan tahun baru bersama keluarga.

Selalu ada hal menarik yg bisa kita pelajari dari negara lain, yg dibutuhkan hanyalah itikad baik dan rasa ingin tahu, dan tentu keinginan untuk memperbaiki hal-hal yg masih kurang baik di negara kita.

Ada beberapa info menarik yang saya dengar dari teman ini, tapi saya hanya ingin membahas satu hal saja, yaitu bagaimana Malaysia mengelola pajak.  Ada dua hal yg saya catat dari diskusi soal pajak di Malaysia ini..

Bagaimana mengelola pajak yang baik,  salah satunya adalah secara online, dimana sistem dibuat transparan dan tidak ada peluang terjadinya kecurangan atau penyelewengan yang dilakukan oleh petugas pajak bersama dengan wajib pajak tentunya.   Seluruh proses dilakukan secara online, memasukkan data penghasilan dan pengeluaran, perhitungan besaran pajak hingga proses bayarnya.  Dalam hal ini tentu pajak pribadi atau perorangan, tapi saya kira bisa diterapkan juga untuk perusahaan atau badan usaha lainnya.

Dengan cara online maka tidak ada kemungkinan bahwa kita harus berjumpa dengan petugas pajak, yang mau tidak mau merupakan pintu masuk ke kongkalikong untuk melakukan penyelewengan bersama.

Hal yang kedua adalah bagaimana pemerintah Malaysia "mengatur" atau "mengarahkan" pola belanja masyarakat.  Saya kira ini satu ide inovatif yang sangat bagus, dan tentu bisa juga diterapkan di Indonesia (dengan syarat pemerintah peduli dan punya itikad baik).

Jika seseorang membelanjakan uang atau penghasilannya untuk beberapa benda tertentu misalnya komputer atau buku, maka penghasilan kena pajaknya menurun.  Ini semacam insentif bagi masyarakat yang membeli buku dan/atau komputer. Kenapa ? karena buku dan komputer digunakan atau bisa digunakan untuk mencerdaskan orang untuk proses belajar.

Hal yang ketiga, jika seseorang melakukan kelebihan bayar pajak, maka kelebihan uang tersebut akan dikembalikan lagi ke yang bersangkutan. Semua perhitungan dilakukan secara online, berapa penghasilan dan berapa pengeluaran termasuk rincian pengeluaran (seperti buku atau komputer tadi).  Bagaimana bukti pengeluaran ?  Pemerintah mewajibkan setiap warga wajib pajak untuk menyimpan semua bon pembelian barang (yang dicatat dalam laporan pajak) selama tujuh tahun.  Pemeriksaan keabsahan data yg dimasukkan dalam laporan pajak akan dilakukan secara acak sewaktu-waktu (dengan memeriksa bon pembelian tersebut). Jadi jangan coba-coba Anda berbuat curang misalnya memalsukan pengeluaran tertentu, jika sampai ketahuan Anda harus membayar denda yang cukup banyak untuk membuat Anda menyesal.

Demikian "pelajaran berharga" dari Malaysia, jika cara tersebut diterapkan di Indonesia, termasuk ke perusahaan-perusahaan, saya yakin kejahatan pajak bisa diminimalkan, tidak ada tempat bagi orang seperti Gayus Tambunan demikian pula kasus penggelapan pajak seperti yang dilakukan oleh Asian Agri bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Tinggal satu hal saja yang kurang yaitu itikad baik dari pemerintah yang cerdas dan punya visi.

Tuesday, December 24, 2013

Selamat Natal (?)

Menjelang Natal di Indonesia selalu muncul kembali perdebatan tentang boleh tidaknya umat muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani/Kristen.

Saya tidak ingin menyampaikan pandangan pribadi saya atas hal ini, saya hanya ingin mencantumkan beberapa link web/blog dari beberapa orang yg punya pendapat tentang isu ini.

Kajian hukum mengucap Selamat Natal.

Natal: memutuskan hubungan kekeluargaan atas nama Islam ?

Tak habis pikir pada halal haram Selamat Natal.

Ketua MUI: Umat Islam mengucapkan Selamat Natal: tidak masalah

Selamat Natal buat Anda yang merayakannya, semoga damai Tuhan menyertai kita semua.

Monday, December 09, 2013

Soal kemacetan di Jakarta: logika bengkok dari Pemerintah Indonesia

Anda yang tinggal atau bekerja di Jakarta, tentu merasakan sendiri dari hari ke hari tingkat kemacetan semakin parah.  Kalau dulu berangkat ke kantor dari rumah cukup jam setengah enam pagi, sekarang (mungkin) harus jam lima seperempat.  Kalau dulu (katakanlah setengah tahun yg lalu), pulang dari kantor jam lima sore, jalan di sekitar Patung Tani masih agak longgar, sekarang mungkin jam lima sore putaran Patung Tani sudah macet.

Titik awal kemacetan saya amati juga sudah bergeser, jika Anda datang dari arah Stasiun Cikini, menuju arah Metropole kemudian ke jalan Diponegoro, katakanlah setengah tahun yg lalu, pada sore hari sekitar jam setengah enam, kemacetan biasanya akan mulai di pertigaan Metropole, sekarang ini pada jam yang sama, awal kemacetan sudah bergeser maju, sudah mulai dari Stasiun Cikini.

Kemacetan di Jakarta sudah terjadi sejak sehingga lama sudah tidak lagi dilihat sebagai hal yang aneh.  Bagi saya yang jauh lebih aneh adalah sikap pemerintah dalam hal ini pak Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono berserta menteri-menterinya.......

Pertama: pernyataan Presiden SBY saat ditanya soal kemacetan Jakarta oleh  Kepala Negara lain, pak SBY menyatakan dirinya malu dan merasa tertusuk (oh betapa pedihnya ?).  Lengkapnya sebagai berikut: “Saat pertemuan ASEAN Summit di Brunei, saya juga seperti tertusuk bertemu teman saya yang perdana menteri. Ada yang bertanya, Pak (SBY), di Jakarta dari airport ke down town (pusat kota) bisa dua jam yah,” kata Presiden saat menerima kunjungan pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (4/11).


SBY juga menegaskan bahwa beliau tidak bisa berbuat banyak, karena kemacetan adalah tanggung jawab Gubernur.

Pertanyaan saya: apakah pantas seorang presiden menjawab seperti itu, tidak ada sikap gentleman, tidak ada sikap seorang leader, tidak ada sikap seorang negarawan, yang ada adalah mengeluh (malu dan merasa tertusuk) dan melemparkan tanggung-jawab ke orang lain (gubernur).

Alangkah bijaknya jika pak SBY menjawab demikian: "Betul memang kami menghadapi masalah serius dengan transportasi di Jakarta dan sudah menjadi komitmen saya untuk bersama dengan Gubernur mencari jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi masalah ini...."

Kedua: soal kebijakan mobil murah atau LCGC (Low Cost Green Car), mengenai hal ini sudah saya bahas di posting sebelumnya. ..Presiden SBY menyatakan bahwa mobil murah diperuntukkan bagi angkutan pedesaan, (maksudnya bukan untuk kota besar seperti Jakarta ?).  Ini saya kira pernyataan yang aneh bin ajaib dan diucapkan oleh seorang yang tidak paham permasalahan (kalau kita tidak diijinkan menggunakan kata bodoh karena terdengar kasar).

Jika betul mobil murah diperuntukkan bagi angkutan pedesaan, pertanyaan saya: "bagaimana mengatur distribusinya ? bagaimana membatasi atau melarang orang kota yang membelinya ? lalu, apakah betul masyarakat pedesaan membutuhkan mobil untuk transportasi mereka di pedesaan ? apakah mobil hendak dipakai untuk pergi ke sawah atau ke pasar ? ataukah mobil dibutuhkan untuk mengangkut hasil panen ?"

Sederet pertanyaan sederhana yang saya yakin pak SBY gak bisa jawab, karena statement beliau dari awal sudah tidak tepat dan menunjukkan ketidakpedulian beliau.

Faktanya jalan-jalan di Jakarta saat ini sudah mulai dipenuhi oleh mobil-mobil baru dan murah tersebut, seperti Daihatsu Ayla dan Toyota Agya, dan saya yakin pula bahwa ini adalah penambah kemacetan Jakarta yang sudah parah menjadi semakin parah.

Ketiga: soal kemacetan, pemerintah sudah kehilangan fokus.  Apa yang sesungguhnya dibutuhkan adalah transportasi publik yang massal, yang aman dan nyaman.  Bukan mobil pribadi yang sudah jelas akan memperparah kemacetan sekaligus menambah tingginya konsumsi BBM serta menambah polusi udara.  Tingginya konsumsi BBM secara langsung akan menambah tingginya subsidi BBM yang lagi-lagi dikeluhkan oleh pak SBY (presiden yang begitu gemar mengeluh).

Sekali lagi disini terlihat bahwa pemerintah belum sanggup berpikir secara terintegrasi dalam skala yang luas dan dalam jangka panjang.

Soal pemerintah yg hilang fokus ini juga terlihat dari pernyataan atau argumen pemerintah "...rakyat miskin juga berhak membeli mobil...." atau "....jangan halangi orang miskin untuk memiliki mobil sendiri...."   Sekali lagi isunya bukanlah bagaimana menyediakan mobil murah (entah itu buat orang miskin atau orang kaya) tapi bagaimana menyediakan transportasi publik yang murah, aman dan nyaman, sehingga bukan hanya orang miskin saja  yang mau menggunakan transporasi tersebut, tapi bahkan orang kayapun mau menggunakannya.

Logika dan argumen pemerintah yang terbolak-balik, tidak konsisten dan tidak terintegrasi, lagi-lagi menunjukkan pemerintah kita tidak cerdas.