Wednesday, October 09, 2013

Oleh-oleh (permenungan) dari Pameran Alutsista TNI AD di Monas

Saya termasuk penggemar hal-hal yang berbau kemiliteran, baik itu teknologi persenjataan, strategi/teknik perang, bahkan sejarah perangpun saya tertarik. Itu sebabnya begitu saya dengar ada pameran senjata TNI AD di Monas, saya sempatkan hadir ke sana.

Pameran persenjataan selalu menarik bagi saya, apalagi jika yang dipamerkan adalah apa yg memang sudah dimiliki dan dioperasikan oleh bangsa kita sendiri.

Bagi kita yg sudah dewasa dan berpendidikan (atau setidaknya merasa berpendidikan), menonton pameran tentu tidak sekedar menonton, tetap ada proses pemikiran dan permenungan (tentunya bagi bangsa ini), banyak  pertanyaan kritis yg muncul, yang perlu kita cari jawabnya, dan jika belum bisa bertemu dengan pihak yg kompeten menjawab, setidaknya menjadi sumber pemikiran dan analisa kita sendiri dulu.....

Dari sekian banyak yang dipamerkan, ada beberapa objek yang menarik bagi saya sekaligus menjadi sumber pemikiran yaitu tank tempur utama Leopard 2A4, helikopter angkut Mi 35 dan meriam howitzer FH-2000.

Leopard 2A4

Siapapun yang gemar dg persenjataan tentu tahu bahwa Leopard 2A4 bukan sembarang tank, ini tank kelas berat, biasa disebut MBT (main battle tank), sekekas dengan M1 Abrams dari Amerika dan Challenger dari Inggris, beratnya lebih dari 60 ton, bisa terbayang bagi Anda, berapa besar energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan kendaraan seberat 60 ton, konsumsi bahan bakarnya rata-rata 4 liter untuk setiap kilometer (cek Wikipedia).

Yang menjadi pertanyaan saya adalah seberapa besar urgensinya Indonesia memiliki tank ini ? terlebih lagi kalau kita lihat kondisi ekonomi negara yang sudah terpuruk saat ini. Baru dua hari lalu tepatnya 7 Oktober 2013, Ivan Hadar di Harian Kompas menulis bahwa hutang Indonesia saat ini sudah mencapai Rp 2.156 Trilyun (artikelnya berjudul Mewariskan Utang).

Dilihat dari sudut pandang pertahanan keamanan, apakah memang saat ini sudah ada ancaman nyata yg harus dihadapi dengan tank sekelas Leopard ?  Siapakah potensi terbesar musuh kita saat ini ? China ? Malaysia ? Singapura ?  Kalau memang negara-negara tersebut kita anggap sebagai musuh maka saya kira medan perangnya bukan di perbatasan Kalimantan atau di Laut Cina Selatan.

Perang di era global saat ini bukan lagi perang fisik dengan lempar granat dan bayonet, perang jaman kini lebih banyak terjadi di pasar ekonomi atau bursa saham.  Faktanya banyak perusahaan nasional Indonesia yg sudah dikuasai asing, silakan Anda cek sendiri bagaimana dunia perbankan Indonesia sudah dikuasai asing, bahkan sektor telekomunikasi juga (Indosat, XL,  termasuk sebagian Telkomsel).  Demikian pula sektor-sektor lain, nyaris tidak ada bagian yg tidak dikuasai oleh pihak asing.

Sekali lagi dalam kondisi seperti ini, apakah masih relevan (setidaknya dalam skala prioritas) kita menghabiskan anggaran negara untuk membiayai pembelian dan pengoperasian tank berat sekelas Leopard.

Kebetulan pula, kira-kira satu tahun yg lalu saya bertemu dengan seorang purnawirawan perwira tinggi mantan direksi di PINDAD.  Beliau mengatakan bahwa PINDAD saat ini sebetulnya sudah mampu membuat kendaraan lapis baja beroda rantai, hanya satu bagian yang PINDAD belum mampu yaitu membuat kubah atau turret. Ini adalah bagian atas tank, yang bisa berputar dan tempat dimana meriam diletakkan.  Mantan direksi PINDAD ini menyayangkan bahwa pemerintah tidak atau belum mau meningkatkan kemampuan PINDAD agar mampu juga membuat turret.

Pada saat di Monas saya melihat Leopard, saya teringat ucapan mantan pejabat PINDAD tadi, seandainya saja anggaran yg dialokasikan untuk membeli Leopard diinvestasikan ke PINDAD.....

Helikopter Angkut Mi 17

Melihat Mi 17, reaksi pertama adalah kagum melihat sosoknya yang sangat besar dan terkesan sangar.  Tapi pertanyaan yang sama muncul dengan pada saat saya melihat Leopard.  Isunya juga sama setidak-tidaknya bagi saya, seberapa besar urgensi kita memiliki helikopter raksasa sekelas Mi 17.

Ndilalah (bahasa Jawanya kebetulan), sebetulnya PTDI juga memproduksi helikopter angkut Puma atau Super Puma.  Saya bertanya-tanya dalam hati kenapa TNI AD tidak menggunakan produk dari PTDI saja ? apakah memang mutlak kebutuhan AD adalah helikopter raksasa yang hanya bisa dijawab dengan Mi 17 ?
Kelas Puma dengan kapasitas angkut 16 orang tentu berbeda dengan Mi 17 yang sanggup membawa 30 tentara, tapi apakah hanya daya angkut saja yg menjadi bahan pertimbangan ? 

Wallahualam, saya tidak tahu, tapi dengan pengetahuan saya yang terbatas, saya menyayangkan kebijakan pemerintah untuk membeli helikopter ini.  Dalam pemikiran sederhana saya (imho), seharusnya produk dalam negeri haruslah diberi prioritas tertinggi.....

Meriam FH-2000


........  mohon maaf bersambung