Wednesday, December 08, 2010

Saya Muak

Aku muak melihat wajahmu
Aku muak mendengar pidatomu
Aku tak tertarik membaca buku-bukumu dan mendengarkan musikmu

Aku heran ketika kau permasalahkan monarki
pada saat banyak hal lain perlu dapat prioritas, korupsi yang terjadi di depan hidungmu

Aku muak baca berita, warung kecil hendak kau kenai pajak
pada saat kau biarkan aparat pajakmu merajalela

Hendak kau kemanakan kami, jika sikapmu seperti itu
mudah-mudahan mereka sadar telah salah memilihmu

Aku muak lihat sikap marahmu pada kami
sementara negara tetangga menginjak kepalamu, kau diam saja

Aku muak mendengar keluhanmu dan tetesan air matamu
air mata kami sudah kering

Yang aku punya sekarang tinggal satu puisi kosong dengan sumpah serapah

Wednesday, December 01, 2010

Ngobama ?

Masih segar dalam ingatan, ketika Obama datang ke Indonesia belum lama ini. Konon sambutan publik sangat positif, memang Obama pandai menempatkan dirinya sesuai konteks.

Alkisah syahdan Obama berkunjung ke kampus Universitas Indonesia di Depok dan memberikan orasi di depan ratusan mahasiswa dan sivitas akademika UI. Lalu terjadilah dialog imajiner karangan Budiarto Shambazi wartawan Kompas, ketika pada saat dialog, para hadirin mengajukan banyak pertanyaan ke Obama.

Saya cuplik curhat khayalan Shambazi di bawah ini:
Curhat pertama begini. ”Bapak dua kali membatalkan lawatan ke sini karena bencana kebocoran minyak Teluk Meksiko dan memperjuangkan RUU jaminan kesehatan. Kenapa para pemimpin/politisi kami malah ke luar negeri saat ada bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi?”

Curhat nomor dua lain lagi. ”Bapak warga minoritas, tapi bisa jadi presiden. Kok bisa? Sukar dibayangkan itu terjadi di sini karena hampir semua etnis dan agama minoritas dimusuhi atau diserbu. Pemerintah berpangku tangan saja!”

Sekarang curhat nomor tiga. ”Pak, apa benar mau membantu pemberantasan korupsi? Kalau benar, tolong cepat-cepat kirim agen-agen FBI menyidik korupsi Century. Kalau bisa, kerja sama kemitraan strategis mencakup pula bantuan ahli-ahli AS mengurai banjir dan macet Jakarta!”


Sehubungan ini hanya khayalan di dunia maya, saya ingin menambah curhatnya dengan uneg-uneg sebagai berikut:
Uneg-uneg 4: "Bagaimana sih pak Obama kiat bapak bisa bersikap tegas dalam mengambil keputusan, termasuk keputusan yg tidak populer di masyarakat, pada saat penduduk New York menolak rencana pembangungan Mesjid di Ground Zero, bapak dengan tegas menyatakan dukungan atas rencana tersebut. Di negara kami hal tersebut mustahil terjadi, pemimpin kami ragu-ragu bersikap dalam menyelesaikan berbagai kasus kekerasan atas nama agama di negeri kami"

Uneg-uneg 5: "Bagaimana sih kiat bapak bisa bersikap tegas pada staf bapak, contohnya pada saat panglima Anda di Afganistan bersikap tidak loyal bahkan mempertanyakan kebijakan Anda (Jendral Stanley Mc Chrystal), langsung Anda panggil dan tak lama kemudian Anda ganti. Pemimpin kami tidak pernah bersikap tegas seperti itu, bukannya membenahi malah mengeluhkan kinerja stafnya ke publik"

Uneg-uneg 6: "Ini pertanyaan pak, bagaimana pendapat bapak dengan pemimpin yg suka menangis di depan publik, perasaannya begitu halus dan mudah tersentuh, hingga menangis dan menitikkan air mata. Masalahnya menangis tinggal menangis, tidak ada solusi bagi rakyat. Apa saran bapak kepada kami bagaimana bersikap terhadap pemimpin seperti itu ?"

He he he sebetulnya masih banyak uneg-uneg kami yang lain, tapi karena keterbatasan tempat mungkin kami cukupkan sampai sekian dulu saja, jangan-jangan nanti pembaca malah menjadi muak.

Sunday, October 24, 2010

Mahalnya sebuah kebodohan

Tentu hal yg lumrah dan wajar jika kita mengeluarkan biaya mahal dan banyak uang untuk menjadi pandai. Namun bagaimana jika biaya sangat mahal sudah dikeluarkan dan dikorbankan tapi hanya untuk suatu kesia-siaan, karena tidak ada perkembangan, tidak ada perubahan menuju ke arah yg lebih baik, tidakkah itu sebuat kebodohan ?

Orang pandai bisa saja melakukan hal bodoh, tapi saya kira hanya orang bodoh saja yg melakukan hal-hal bodoh dalam jangka waktu yg lama, berulang-ulang tanpa pernah bisa belajar, mengevaluasi diri dan introspeksi. Berarti bangsa kita bangsa yg bodoh ?

Kesimpulan yg menyakitkan, tapi saya khawatir itu benar.

bersambung...

Monday, October 18, 2010

Apa yang terjadi 1965 (4)

Ini adalah posting saya yang keempat menggunakan judul yg sama, terakhir tanggal 29 Juli 2008 ketika saya membahas buku karangan John Roosa, yang belakangan dilarang beredar oleh Kejaksaan.

Belum lama ini beredar buku baru karangan Julius Pour, wartawan Kompas. Saya coba cari buku tersebut di toko buku, tapi ternyata saya mendapatkan buku lain yg tidak kalah menariknya, buku karangan Asvi WarmanAdam berjudul "1965 Orang-orang dibalik Tragedi"

Ini buku terbitan 2009, tidak terlalu baru, tapi yang lebih penting adalah apa info yg disampaikannya. Seperti kita tahu, setelah reformasi 1998, kita masuk dalam era informasi yg lebih terbuka, orang lebih berani berekspresi dan menyampaikan opininya. Sejalan dengan itu terbitlah banyak sekali buku yg membahas tragedi 1965. Uniknya setiap buku ini menampilkan opini atau teori yg berbeda tentang kasus 1965, sebagian pro versi pemerintah yang jelas-jelas menyalahkan PKI, sebagian lagi versi alternatif, ada juga yg menyalahkan Bung Karno. Disinilah saya kira kita perlu bersikap kritis, kita harus ekstra hati-hati mempelajari dan mendalami hal ini.

Dalam bukunya ini, Warman Adam mencoba menampilkan beberapa kejanggalan yang ada pada beberapa buku yg membahas tragedi 1965, antara lain pada buku karangan Antoni CA Dake yg berjudul Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan, terbitan Aksara Karunia, Jakarta 2005.

Sekali lagi saya ingin mengajak Anda untuk secara kritis mempelajari/menganalisa apa yg terjadi pada 1965.

Kenapa 1965 begitu penting ?

Karena 1965 adalah satu momen waktu yg sangat penting dalam sejarah Indonesia modern. Ketika Indonesia mendadak berubah dari semula pemimpin gerakan non blok yg independen dan disegani menjadi murid yg patuh dari Blok Barat (baca: Amerika) yg kemudian secara perlahan-lahan terjebak dalam hutang dan korupsi dan akhirnya sekarang ini telah menjadi negara yg terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan dan dipandang sebelah mata oleh negara lain bahkan oleh negara yg dulu tidak diperhitungkan seperti Malaysia.

Monday, September 20, 2010

Presiden prihatin, rakyat apalagi !


Di harian Kompas, edisi Sabtu, 18 September 2010, presiden SBY menyampaikan keprihatinannya atas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagi saya pernyataan presiden tersebut sungguh aneh, karena dalam pemahaman saya, selaku presiden, justru SBY adalah salah satu orang yg paling bertanggung-jawab dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Sepanjang yg dapat saya amati, justru banyak kebijakan presiden yg tidak tegas dalam soal pemberantasan korupsi, misalnya bagaimana baru-baru ini presiden memberikan remisi hukuman kepada para koruptor kakap. Juga bagaimana dalam kasus Century dan perseteruan KPK-Polri presiden tidak bersikap tegas, padahal KPK sudah membuktikan kesungguhan dan prestasi luar biasa dalam memberantas korupsi. Perseteruan KPK-Polri justru menunjukkan kesan adanya rekayasa pemerintah untuk melemahkan KPK.

Yang terakhir adalah kasus rekening gendut para Jenderal Polisi. Seperti kita tahu bahwa polisi sebetulnya yg menjadi harapan kita dalam memberantas korupsi. Seharusnya polisi berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi. Tapi kenyataan berbicara lain. Kasus rekening gendut menunjukkan bahwa polisi tidak transparan. Tidak transparannya polisi membuka peluang terjadinya penyimpangan. Dan penyimpangan itu adalah pelanggaran hukum.

Jadi kurang tepat rasanya kalau presiden prihatin atas korupsi, lebih tepat presiden prihatin pada dirinya sendiri.

Tuesday, September 14, 2010

Adakah kepekaan dalam hati kita ?

Jika kita bicara Indonesia, kita bicara dalam konteks yg besar, satu negara, satu bangsa, satu tanah air. Sebuah negara dengan lebih dari 13.000 pulau dan (mungkin) 200 juta penduduk ?Indonesia sebagai sebuah wadah di mana kita hidup.

Tapi sebelum kita sampai ke dalam lingkup satu negara, terlebih dahulu kita harus punya kemauan dan kemampuan untuk bicara dalam lingkup yg kecil. Karena satu hal besar terbentuk atas banyak sekali perkara kecil.

Bicara hal kecil, kita harus punya kepekaan, karena sesuatu yg kecil biasanya tidak begitu tampak menyolok, suaranya lirih nyaris tak terdengar, sosoknya kecil hingga seolah-olah terinjak-injak oleh massa yg besar.

Saya tersentak membaca kisah tewasnya seorang tuna netra di depan Istana. Seorang tuna netra yang menunggu dari pagi hingga sore, bersama dengan puluhan atau ratusan orang lainnya, menunggu belas kasihan, menunggu rezeki.

Saya sependapat dengan Ikrar Nusa Bakti yg menyampaikan opininya di Harian Seputar Indonesia, edisi 14 September 2010. Pokok pikiran Ikrar Nusa Bakti yg utama saya kira adalah bhw budaya membagi-bagi uang kepada rakyat jelata (seperti yg terjadi di Istana) sebetulnya sama saja dg melanggengkan feodalisme, menempatkan rakyat dlm posisi pihak tak berdaya yg perlu ditolong dan di lain pihak membutuhkan kebaikan, kemurahan hati dan belas kasihan sang pemberi.

Dalam hal ini saya kira ada dua hal yg bisa menjadi permenungan:
1. budaya memberi dengan pola seperti di atas di satu sisi memberi kesan bahwa sang pemberi adalah manusia berhati mulia
2. di lain pihak pada saat yg sama, si pemberi tadi juga sekaligus "menipu" rakyat jelata, karena menampilkan dirinya sebagai sosok suci namun sebetulnya apa yg dilakukannya tidak mempunyai nilai apa-apa dibandingkan dengan yang seharusnya dia berikan kepada rakyatnya.

Hal kedua ini akan semakin kentara jika sang pemberi sekaligus adalah juga penguasa. Penguasa yg punya wewenang, kekuatan, kekuasaan, legitimasi dan sederet otoritas yg lainnya. Penguasa yg jika dia bekerja dengan tulus -misalnya memberantas korupsi- maka bisa memberikan kepada rakyatnya bukan hanya "angpau" Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu untuk seorang tuna netra miskin yg menunggu dari pagi, namun dia bisa mengupayakan kesejahteraan untuk ratusan atau ribuar orang.

Friday, September 10, 2010

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431H

Pada hari yg penuh berkah ini, saya ingin mengucap selamat hari raya Idul Fitri 1431 H, Mohon Maaf Lahir & Batin.

Saya juga ingi mengajak kita semua untuk merenungi hari raya ini, pertama-tama bukan dari sudut pandang agama tapi lebih dari aspek sosial ekonomi. Bahwa setiap hari raya Idul Fitri di Indonesia kita selalu melihat fenomena mudik. Jumlah pemudik yg terus meningkat dari tahun ke tahun, fasiltas angkutan para pemudik yg sangat tidak memadai, tingginya trafik mudik yg menyebabkan kemacetan berkilo-kilometer panjangnya dan tingginya kecelakaan dan korban tewas karena mudik.

Saya kira sudah waktunya ini menjadi fokus perhatian pemerintah. Fenomena mudik ini sebetulnya menunjukkan kepada kita bhw hingga saat ini masih terjadi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota.....

Masalah terbesarnya saya kira adalah:
1. ketimpangan pembangunan terhubung langung dengan besarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, rakyat miskin di pedesaan semakin terpinggirkan dan tidak punya kesempatan untuk memperbaiki nasib
2. masalah di atas merembet ke masalah lain seperti arus urbanisasi tak terbendung, kota-kota besar menjadi terlalu padat, berujung ke kemacetan, polusi, angka kriminalitas tinggi, masalah kesehatan dsb

Tentu ini bukan perkara mudah untuk mengatasinya, yg terpenting saya kira adalah adanya itikad baik yg tulus dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, dan itu hanya bisa dicapai jika ada kesungguhan untuk memberantas korupsi. Korupsi menghambur-hamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi, itu harus dihentikan, uang negara tersebut seharusnya disalurkan kembali ke rakyat, terutama rakyat kecil untuk peningkatan kesehatan, pendidikan murah dsb.

Wednesday, September 08, 2010

Halo Polisi (2) ?

Iseng-iseng saya amati, sejak blog ini saya terbitkan tahun 2006 isu yang paling menarik dalam blog ini adalah yang terkait dengan polisi. Indikasi terlihat dari:
1. report dari google/analytics
2. komentar yg masuk

Di satu sisi banyak kritik cukup keras dari masyarakat pembaca, di lain sisi ada krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian yang sekaligus memperlihatkan sebetulnya betapa besar harapan masyarakat terhadap polisi.

Saya kira itu suatu hal yg sangat masuk di akal, karena tentu orang berharap akan hidup yang aman dan nyaman, orang butuh perlindungan, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum dan ... keadilan.

Di lain pihak, kita sendiri melihat bagaimana kinerja atau performansi pihak kepolisian. Polisi yg seharusnya melindungi dan melayani (seperti slogan yg tertera di mobil patrolinya), dalam kenyataannya jauh sekali dari citra seperti itu. Kesan yg muncul justru seringkali polisi lebih dilihat sebagai "pemeras" atau "oknum pungli". Yang paling parah adalah kesan bhw aparat kepolisian bersekongkol dengan penguasa atau pengusaha...

Banyak kasus yang terjadi semakin menguatkan citra itu, saya sebut saja:
1. kasus rekening gendut para Jenderal Polisi
2. kasus pemerasan oleh 7 oknum polisi terhadap tersangka narkoba yg ternyata polisi yg sedang menyamar
3. kasus pengadilan ketika tiba-tiba pihak polisi menyatakan tdk punya rekaman pembicaraan tersangka
4. kasus rekayasa pada pengadilan Antasari Azhar dimana Komisaris Polisi Wiliardi Wizard mengaku dipaksa membuat kesaksian palsu yang memberatkan Antasari

Selain kasus di atas mungkin masih ada ratusan atau ribuan kasus lainnya, termasuk kisah-kisah yg Anda alami sendiri.

Saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu, saya mematri kaca mata saya yg patah ke seorang tukang emas di seberang terminal Pasar Senen. Waktu itu di seberang terminal Senen berjejer cukup banyak kios tukang emas yang melayani jual beli emas dan melebur emas. Sementara saya menunggu kaca mata saya dipatri, tiba-tiba datang seseorang terengah-engah dan tergopoh-gopoh habis berlari, menyerahkan kalung dan gelang emas minta dilebur. Pada awalnya saya tidak sadar, belakangan baru saya tahu bhw orang tersebut adalah penjambret yg baru saja melebur emas hasil rampasannya.

Tidak masuk akal bagi saya bhw kegiatan itu tidak diketahui polisi, bhw jajaran tukang emas di seberang terminal Senen itu sebetulnya "satu ekosistem kejahatan" dengan para pencopet dan penjambret yg beroperasi di terminal Senen. Jika polisi punya itikad baik dan tulus memberantas kriminalitas tentu tidak sulit menggrebek para tukang emas yg berfungsi sebagai tukang tadah tersebut.

Ini adalah kisah nyata yg saya alami sendiri beberapa tahun lalu, mungkin Anda pembaca punya pengalaman yg lain....

Masalahnya adalah bagaimana kita bisa berharap lingkungan kita aman, bagaimana kita berharap ada kepastian hukum, bagaimana kita berharap Indonesia bisa maju bebas dari korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya berada di posisi terdepan justru menjadi pelaku atau otak atau bersekongkol dengan penjahat itu sendiri.

Sampai kapan Indonesia akan seperti ini, wallahualam.

Tuesday, August 31, 2010

Apa yang Anda pikirkan, Tuan ? (2)

Posting saya yg terakhir sebelum ini dengan judul yg sama, membuat saya merasa surprised. Pertama karena ada yg memberi komentar, meski dengan nada sinis, terima kasih kepada Sdr. yella ojrak.

Kedua, karena ada satu artikel di Harian Kompas edisi Senin, 30 Agustus 2010 yg menguatkan opini saya. Artikelnya berjudul Diplomasi Tumpul, ditulis oleh Kiki Syahnakri (Letnan Jenderal Purnawirawan, Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan AD).

Untuk ringkasnya saya kutip saja paragraf ketiga dari terakhir dari tulisan Jenderal Syahnakri sbb:
Dalam kasus aktual dengan Malaysia, tidak bisa lagi kebijakan dan langkah penanganan diserahkan kepada para pejabat kementerian yang justru saling menampik dan menyalahkan. Lemahnya koordinasi antarpejabat tinggi justru menguak kelemahan bangsa dan negara keluar. Saatnya Presiden sebagai kepala negara tampil menunjukkan kewibawaan bangsa, menunjukkan sikap dengan tak sekadar mengedepankan kesantunan berkata- kata, tetapi juga penuh ketegasan, kejelasan, ketajaman, dan kekuatan karakter.

Paragraf terakhir dari tulisan Jenderal Syahnakri juga menarik bagi saya:
Ketiga, perlu sungguh-sungguh melakukan pembenahan di dalam negeri, terutama peningkatan kekuatan pertahanan, setidaknya pemerkuatan pengamanan di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Perlu percepatan untuk memodernisasi alutsista militer kita karena sudah tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga sehingga tidak lagi memancarkan deterrent power.

Paragraf terakhir ini perlu digaris-bawahi, peningkatan kekuatan pertahanan hanya bisa dilakukan jika negara punya cukup kekuatan ekonomi. Dan kekuatan ekonomi hanya bisa dicapai jika sumber-sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi kita dikelola dengan baik dan bersih, dan bukan dengan korupsi, kolusi dan penyalahgunaan kekayaan negara untuk kepentingan sekelompok elite penyelenggara negara.

Bagaimana tanggapan Anda, Tuan ?

Friday, August 27, 2010

Apa yang Anda pikirkan, Tuan ?

Kadang-kadang saya berandai-andai, apa sih yang dipikirkan oleh Presiden kita pak SBY. Apa yang menjadi fokus pikirannya, apa yg menjadi keprihatinannya. Bagaimana opini beliau, misalnya melihat daya saing industri lokal kita yg semakin merosot dengan diterapkannya ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Atau misalnya bagaimana reaksi beliau terhadap maraknya ledakan tabung gas, yg sudah merenggut nyawa puluhan orang. Atau misalnya tentang seorang bocah yg nekat bunuh diri karena ingin sekolah tapi orang tuanya tidak mampu.

Tentu banyak pertanyaan saya tidak terjawab, karena tidak mungkin Presiden memberikan pernyataan atas seluruh isu yg beredar di masyarakat. Tapi menurut saya ada sejumlah isu yg sangat krusial yg harus ditanggapi langsung oleh Presiden, misalnya (sekali lagi menurut saya) isu rekening gendut para Jenderal Polisi. Kenapa harus Presiden turun tangan ? karena tidak ada satupun institusi hukum di Indonesia yg punya wewenang dan keberanian untuk mengusut kasus ini. Di lain pihak kasus ini tetap harus diusut, karena Polisi sekalipun tidak berdiri di atas hukum. Sekali lagi menurut saya, Presiden harus turun tangan, karena hanya beliau yg secara hukum berwenang, karena POLRI berada dibawah Presiden dan bertanggung-jawab kepada Presiden.

Isu lain misalnya adalah sengketa Indonesia - Malaysia. Sekali lagi menurut saya Presiden harus menunjukkan sikapnya. Kenapa ? Karena persoalan Indonesia - Malaysia ini sudah menyangkut harga diri bangsa Indonesia, bertahun-tahun kita dilecehkan dan diinjak-injak oleh Malaysia, dan kita diam saja ? Tidak cukup hanya DEPLU yg membuat pernyataan protes, jika perlu tarik sementara Duta Besar Indonesia dari Malaysia.

Sering saya berharap-harap Presiden SBY mengeluarkan pernyataan tegas atas berbagai isu penting menyangkut bangsa ini, tapi harapan saya menjadi harapan kosong saja. Alih-alih menyatakan sikapnya, Presiden SBY (mungkin) malah asyik menggubah lagu memetik gitar, atau menerbitkan buku untuk anak-anaknya.

Bagaimana Presiden berpikir semakin menjadi tanda tanya bagi saya ketika membaca berita di Kompas, tanggal 24 Agustus 2010, Presiden SBY menilai para menterinya lambat merespons isu yg berkembang di masyarakat. Demikian antara lain ditulis oleh Kompas: Presiden meminta para menteri tidak tinggal diam, bersembunyi, atau tak mau repot untuk menjelaskan kebijakan pemerintah yang harus mereka pertanggungjawabkan. Presiden mengingatkan, tak semua isu harus dijelaskan Presiden. Sebagian isu akan lebih tepat dijelaskan dan dikomunikasikan menteri kepada masyarakat.

Saya setuju bahwa tidak semua isu harus dijelaskan oleh Presiden. Tapi saya kira Presiden juga harus terlebih dahulu kritis dan peka. Ada isu-isu tertentu yang bahkan seorang menteripun tidak akan berani berkomentar, karena memang bukan menjadi otoritasnya. Jika mereka berani berkomentar justru akan menjadi tanda tanya karena dinilai melewati batas kewenangannya. Itulah isu Rekening Jenderal Polisi dan sengketa Indonesia - Malaysia.

Seandainya Tuan membaca posting ini, apa yang Anda pikirkan, Tuan ?

Monday, August 23, 2010

Dibutuhkan Itikad Baik yang Tulus












Jika Anda tinggal di Jakarta, tentu Anda akan merasakan sendiri betapa saat ini kondisi lalu lintas di Jakarta sungguh tidak layak. Kemacetan terjadi hampir di semua tempat dan sudah sampai pada level yang "tidak masuk di akal".

"Tidak masuk di akal" dalam arti bahwa tidak dapat dimengerti bahwa tingkat kemacetan sudah sampai seburuk ini tapi masih belum ada tindakan nyata dari Pemerintah. Solusi Bus TransJakarta dengan jalur khusus yg disebut Busway, menurut saya tidak banyak membantu, malah menambah kemacetan. Karena jalur yg digunakan busway bersifat dedicated, tidak boleh lagi digunakan kendaraan umum atau pribadi lainnya. Di lain pihak, jumlah busnya juga tidak cukup banyak, penumpang berjubel, dan ... tentunya membuat jalan yg sdh dialokasikan untuk busway menjadi tidak terutilisasi secara efisien.

Jika kita telaah lebih jauh, kerugian yg ditimbulkan akibat kemacetan sungguh besar, mulai dari pemborosan energi BBM, polusi udara, tingginya kecelakaan dsb. Koran Seputar Indonesia edisi 9 Agustus 2010 menyebut bhw menurut studi Yayasan Pelangi pada 2005, angka kerugian ekonomi yg diderita akibat kemacetan di Jakarta senilai Rp 12,8 Trilyun pertahun yg mencakup nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya bahan bakar.

Pada edisi yg sama, Seputar Indonesia menyebutkan bahwa dibutuhkan "kebijakan yg radikal untuk mengatasi kemacetan di Jakarta". Saya tidak sependapat dg gagasan ini, menurut saya yang dibutuhkan adalah "itikad baik yg tulus", sesederhana itu ?

"Itikad baik yg tulus" adalah satu hal yg sederhana saja tapi datang dari dalam hati yg tulus dengan niat mulia untuk mengatasi satu masalah yg dihadapi bersama. Tidak dibutuhkan aturan macam-macam atau teknologi yg canggih, tidak perlu monorail segala macam. Sudah jelas bahwa solusi masalah kemacetan ini adalah penyediaan transportasi massal.

Pertanyaannya adalah transportasi massal type apa yg layak di Jakarta ?. Kereta bawah tanah jelas tidak mungkin karena biayanya kelewat tinggi. Apakah monorail cocok ? saya tidak yakin, selain teknologinya baru bagi kita, kereta monorail juga belum bisa diproduksi sendiri.

Kenapa kita tidak berpikir untuk mengoptimalkan teknologi KRL yg sdh digunakan saat ini untuk jalur Jakarta-Bogor-Bekasi ? selain teknologinya sederhana, kita sudah mampu memproduksi sendiri kereta ini. Pengadaan kereta produksi dalam negeri selain akan mendorong tumbuhnya industri lokal, juga akan banyak menghemat devisa.

Pada edisi tersebut, Seputar Indonesia juga menyebutkan bhw angka pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta adalah 240 unit mobil dan 890 unit sepeda motor setiap hari. Saya kira ini satu angka yg mengerikan, bagaimana dapat dibayangkan kondisi lalu lintas di Jakarta satu, dua atau tiga tahun ke depan ? Tidakkah pemerintah tergerak hatinya untuk segera mengambil langkah antisipasi ? tidak perlu jauh-jauh studi busway ke Bogota atau menggunakan monorail seperti di Bangkok, cukuplah menggunakan teknologi sederhana dan kereta listrik buatan Madiun.

Sekali lagi yg dibutuhkan adalah itikad baik yang tulus.

Thursday, July 29, 2010

Quo Vadis Polisi Indonesia ?

Quo Vadis Polisi Indonesia, Mau kemana polisi Indonesia ?

Jika bicara bagaimana memberantas kejahatan, salah satu kata kuncinya adalah polisi. Seperti ungkapan: "Jika mau menyapu, pastikan dulu sapunya bersih, tentu jika sapunya kotor, alih-alih menjadi bersih, lantai malah jadi tambah kotor".

Memberantas korupsi Polisi

Tuesday, June 08, 2010

Saya tidak bangga dengan Sri Mulyani

Terkait dengan pengangkatan Sri Mulyani menjadi salah satu Direktur Bank Dunia yg berkantor di New York, banyak orang Indonesia yg bangga, tidak terkecuali Presiden SBY.

Saya sepakat bahwa bukan hal mudah untuk bisa menjadi Direktur di Bank Dunia, tentu dibutuhkan keahlian, kompetensi dan pengalaman, yang tidak hanya diakui di Indonesia tapi juga di tingkat internasional. Kita juga tentu sepakat bahwa sangat sedikit orang di Indonesia yang mampu mencapai tingkatan kemampuan seperti itu.

Tapi pokok persoalan bukan di situ, banyak orang pandai di negeri ini, doktor lulusan luar negeri jumlahnya tak terhitung, tapi seberapa banyak yg benar-benar peduli dengan Indonesia ?

Kembali ke Sri Mulyani, banyak hal tidak pantas terkait dengan pernyataan, sikap atau kebijakan beliau pada saat masih menjabat sebagai Menteri Keuangan.
1. kasus mafia pajak di Departemen Keuangan
2. skandal Bank Centuty
3. pernyataan Sri Mulyani tentang menarik pajak dari orang kaya

Terkait kasus mafia pajak pasca penangkapan Gayus Tambunan, saya belum melihat adanya tindakan nyata dan tegas dari Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Lebih menyakitkan lagi melihat fakta bahwa standar gaji di Departemen Keuangan sdh dibuat jauh lebih tinggi dibanding instansi lain untuk mencegah korupsi, nyatanya kasus korupsi masih terjadi. Selain itu tidak masuk akal bahwa seorang Gayus dari Golongan III.A bisa melakukan tindakannya secara independen, pastilah melibatkan banyak pejabat di level yg lebih tinggi. Pertanyaannya: tindakan tegas apa yg sudah dilakukan Sri Mulyani untuk memberantas mafia pajak ini ?

Terkait Bank Century, proses penyelidikan belum selesai atau malah belum dimulai ? hasil penyelidikan awal oleh Pansus DPR menyimpulkan bahwa kasus ini perlu ditindaklanjuti secara hukum.

Terakhir adalah pernyataan Sri Mulyani yang dimuat di Kompas, 14 Mei 2010, bahwa sulit menarik pajak dari orang kaya. Bagi saya ini pernyataan tidak bertanggung-jawab dan menyakitkan. Apa maksud Sri Mulyani dengan pernyataan ini ?, apakah dia bermaksud mengatakan bahwa menarik pajak dari orang miskin itu mudah, karena orang miskin bodoh dan tidak berdaya, tidak mampu membayar/menyuap mafia pajak. Jadi orang miskin dan melarat yang hidupnya sudah sengsara itu wajib membayar pajak jika tidak mau berurusan dengan hukum. Sedangkan orang kaya tidak perlu khawatir karena dengan uangnya yang banyak itu bisa ber-kongkalikong dengan mafia pajak untuk dibebaskan dari kewajiban pajak.

Dari pernyataan Sri Mulyani ini kita bisa menyimpulkan macam-macam:
1. Sri Mulyani bisa saja tidak peduli dengan kondisi dimana orang miskin tanpa kecuali wajib membayar pajak, orang kaya bisa bebas pajak, tergantung kesepakatan dengan mafia pajak
2. Sri Mulyani tidak mampu mengatasi dan mengendalikan mafia pajak yg bercokol di Departemen Keuangan yg dia pimpin
3. Sri Mulyani tidak mau mengatasi dan memberantas mafia pajak di Departemen Keuangan.

Jika yang pertama yg terjadi berarti Sri Mulyani tidak punya hati, tidak punya belas kasihan dan tidak punya rasa keadilan.

Jika yang kedua yang terjadi berarti Sri Mulyani tidak punya keberanian, tidak mampu, tidak sanggup menjalankan tugas sebagai Menteri Keuangan.

Jika yang terakhir yg terjadi, hal ini menimbulkan pertanyaan baru, kenapa tidak mau ?, apakah Sri mendapat keuntungan dari kondisi itu ? apakah Sri merupakan bagian dari Mafia Pajak ?, atau ada kekuatan lain yg lebih besar lagi yg mengendalikan Sri ?

Dengan fakta-fakta di atas, apakah Anda masih akan bangga dengan Sri sebagai salah satu putri terbaik bangsa ini ?

Wednesday, March 31, 2010

Gajah... oh Gajah...

Entah kenapa saya punya kecintaan tersendiri pada hewan gajah. Hewan yg bagi saya memberi kesan kuat tapi lembut..... Yang patut disyukuri adalah bahwa gajah ini adalah salah satu jenis hewan yg banyak terdapat di Indonesia, tapi jumlahnya terus menyusut karena kejahatan dan keserakahan manusia Indonesia.

Berita di Kompas, hari Rabu ini, 31 Maret 2010 mengejutkan saya, selama bulan Maret ini saha empat gajah telah mati: satu di Pusat Latihan Gajah di Minas, Riau dan sisanya di Taman Nasional Tesso Nilo.

Berita ini mengingatkan pada posting serupa tahun 7 Juni 2009 lalu. Sedih rasanya hati ini melihat hewan-hewan yg langka dan tak bersalah ini terus dibantai manusia serakah yg tak pernah belajar bersyukur.

Pertanyaan saya masih sama dengah setahun yang lalu, kapankah kita bisa mensyukuri kekayaan alam ini, kapankah kita bisa menghargai kemurahan dan kelimpahan yg sudah dianugerahkan Allah kepada negeri ini.

Kepada Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, aparat pemerintah, aparat keamanan dan kepada semua yg berwenang, dimanakah kepedulian Anda semua.

Saya berandai-andai, jika uang Rp 25 Milyar yg dikorupsi oleh Gayus Tambunan dan rekan-rekan digunakan untuk mengelola, merawat dan memelihara gajah-gajah di Sumatra, mungkin gajah-gajah ini akan bisa hidup dan berkembang biak dengan baik, sehingga anak cucu kita kelak berkesempatan untuk melihat gajah hidup bukan hanya di dalam foto atau film saja.

Tuesday, March 30, 2010

Membayar Pajak ?

Hari Senin kemarin tanggal 30 Maret 2010 saya ke Kantor Pajak untuk menyerahkan SPT tahunan. Masuk ke kantor pajak yg gedungya cukup megah dan bagus. Di dalam saya lihat beberapa orang antri menunggu giliran mengurus SPT. Jika saya lihat sepintas orang-orang yg antri tersebut kelihatannya bukan dari kalangan berduit/kaya. Penampilan sederhana seadanya, mungkin gajinya juga tidak seberapa. Saya salut pada mereka di jaman yg serba susah seperti ini, masih mau punya kesadaran tinggi untuk menyisihkan gajinya untuk membayar pajak.

Beda dengan saya yg pajak penghasilan sudah dibayarkan langsung oleh perusahaan ke Kantor Pajak, orang-orang ini punya kesadaran tinggi untuk membayar pajak. Trenyuh rasanya hati ini melihat ketulusan orang-orang ini membayar pajak, jika kita bandingkan dengan para oknum pajak, aparat dan pemerintah yg dengan sewenang-wenang menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan sendiri.

Dimanakah keadilan, jika kita yg bekerja susah payah sebagai karyawan setiap tahun harus membayar pajak, dipotong dari gaji yg tidak seberapa, dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar yg pendapatannya milyaran, dan gaji eksekutifnya puluhan juta rupiah perbulan, tapi ngemplang pajak.

Dimanakah keadilan jika seorang oknum pajak bernama Gayus Tambunan, pegawai golongan IIIA berusia 30 tahun, yg gajinya "hanya" Rp 12 juta perbulan tapi punya rumah seharga milyaran rupiah di Kelapa Gading dibiarkan kabur ke Singapura, padahal didakwa terlibat korupsi senilai Rp 25 Milyar.

Dimanakah ketegasan dan rasa keadilan Kapolri, pada saat Susno Duadji melaporkan adanya dugaan korupsi yg dilakukan sejumlah Jenderal Polisi bersama dengan Gayus Tambunan, justru Susno yg diperiksa dengan tuduhan melanggar aturan disiplin internal Polri, sementara Gayus dibiarkan melenggang ke Singapura.

Dimanakah ketegasan Presiden SBY melihat kinerja kepolisian yg seperti itu, setelah kasus KPK dan Bank Century yang sekarang malah tenggelam. Tidakkah pak SBY tergerak hatinya untuk mengambil tindakan tegas dan berani untuk melakukan pembersihan institusi kepolisian dari oknum-oknum Jenderal tak bertanggung-jawab ?

Masih layakkah kita membayar pajak di negeri ini ?

Wednesday, February 10, 2010

Punya Pesawat Kepresiden Sendiri Lebih murah ?

Belum jelas nih, apakah keinginan pemerintah memiliki pesawat kepresidenan sendiri itu didasari pada gaya hidup mewah atau memang pertimbangan ekonomis ?

Sudi Silalahi mengatakan bahwa membeli pesawat kepresidenan akan menghemat pengeluaran sebesar Rp 100 Milyar. Hitungan sederhananya seperti ini: harga sewa pesawat Rp 180 Milyar pertahun jadi untuk 5 tahun butuh Rp 900 Milyar, sedangkan harga pesawat US $ 85,4 Juta atau sekitar Rp 800 Milyar. Sehingga untuk kurun waktu 5 tahun, kita bisa berhemat Rp 100 Milyar dan pesawat masih bisa dipakai oleh presiden berikutnya.

Cara menghitung Sudi sepintas kelihatannya betul tapi sesungguhnya kurang tepat. Secara mikro atau dalam jangka pendek, mungkin benar, tapi secara makro atau jangka panjang masih bisa diperdebatkan.

Pertama, jika sewa pesawat, pemerintah menyewanya dari Garuda yg adalah perusahaan milik pemerintah, membayar pajak dan dividen ke pemerintah selaku pemilik saham. Artinya tidak ada istilah rugi di sini, karena bisa diibaratkan uang yg dibayarkan untuk sewa sekedar berpindah kantung saja dari anggaran kepresidenan masuk sebagai pendapatan Garuda.

Kedua, jika membeli pesawat, sudah pasti membelinya dari perusahaan luar negeri, mungkin Boeing atau Airbus. Justru di sini uang yg dikeluarkan pemerintah mengalir ke luar negeri, bukan ke kantung milik perusahaan sendiri. Meskipun dalam jangka waktu 5 tahun, total uang yang dikeluarkan lebih sedikit tapi uang tersebut mengalir ke Boeing atau Airbus. Sedangkan bila menggunakan pola sewa, uang sewa yg dikeluarkan bisa jadi lebih besar tapi mengalir masuk ke perusahaan milik sendiri yaitu Garuda.

Ketiga, dengan pola sewa biaya Rp 180 Milyar bertahun tentunya sudah bersifat nett/bersih. Bagaimana dengan pola membeli, selain biaya pembelian sebesar Rp 900 Milyar tentu ada biaya lain seperti biaya awak pesawat, bahan bakar, pemeliharaan, suku cadang, sewa hanggar dan sebagainya. Apakah komponen biaya ini sudah dihitung oleh Sudi ?

Keempat, seberapa tinggi intensitas presiden melakukan perjalanan dengan pesawat terbang ? seminggu sekali ?, sebulan sekali ?, hal ini tentu juga harus dipertimbangkan. Tentu harus diperhatikan juga bagaimana status pesawat pada saat tidak digunakan oleh presiden ?, apakah akan diparkir saja di hanggar ? Jika menggunakan pesawat sewa tidak akan muncul isu seperti ini, pesawat sewa adalah pesawat yg sehari-hari dioperasikan oleh Garuda, sehingga tentu bersifat produktif (ada penggunaan). Sedangkan pesawat kepresidenan jika presiden tidak ada perjalanan keluar maka pesawat hanya akan menganggur saja diparkir di hanggar.

Daripada mempertimbangkan hal ini, tidakkah lebih baik pemerintah fokus pada hal lain yang jauh lebih penting, misalnya bagaimana strategi menghadapi serbuan produk China paska diberlakukannya ACFTA ?

Friday, February 05, 2010

Karakter Manusia Indonesia

Seperti apakah karakter manusia Indonesia ? Apakah ada yg bisa menjawab ?

Mochtar Lubis pernah mencoba menjawab pertanyaan ini 33 tahun yang lalu, rumusan Lubis kemudian dibukukan dengan judul "Manusia Indonesia"

Dalam bukunya, Lubis menyebutkan ada enam ciri karakter manusia Indonesia yaitu: 1. hipokritis alias munafik, 2. segan bertanggung-jawab, 3. berjiwa feodal, 4. percaya takhayul, 5. artistik, 6. watak lemah, karakter kurang kuat.

Anda mungkin akan kecewa pada Lubis karena dari 6 penilaiannya, mayoritas bersifat negatif. Saya sendiri tidak terlalu kecewa atau "kurang senang" atas penilaian Lubis. Siapapun boleh saja melakukan hal seperti itu. Penilaian itu juga belum tentu valid dan menggambarkan mayoritas manusia Indonesia.

Ijinkanlah saya juga membuat penilaian atas manusia Indonesia, dari hasil pengamatan saya selama ini. Supaya tidak terlalu luas, saya batasi hanya terhadap para penyelenggara negara seperti anggota DPR, polisi, pejabat pemerintah, tentara dsb. Dari batasan tersebut jelas tidak termasuk para buruh, rakyat miskin, rakyat di pelosok pedalaman, para karyawan, pengusaha dsb.

Tidak jauh-jauh saya coba berangkat dari tulisan Mochtar Lubis, ternyata selain 6 ciri yg sdh disebutkan di atas, Lubis masih menyebutkan ciri-ciri lainnya. Saya meng-kombinasikan apa yg dikatakan Lubis dengan pendapat saya sendiri.

Pertama: manusia Indonesia cenderung boros, lebih suka rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, barang luar negeri dsb. Saya kira ini cocok sekali dengan fakta yg kita lihat saat ini, bagaimana para menteri disediakan mobil Toyota Crown Royal Saloon seharga Rp 1,2 Milyar. Gubernur Kalimantan Timur dan Wakilnya menggunakan mobil dinas Toyota Land Cruiser VXV8 seharga total Rp 5,6 Milyar. Dua kasus yg saya sebutkan hanya contoh sebagai pembukaan, tentu di luar hal tersebut masih ada ratusan atau ribuan contoh lainnya.

Kedua: mau cepat kaya tanpa berusaha keras. Ini ciri yg sangat menonjol kita lihat pada para penyelenggara negara. Indikasi paling mudah adalah Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Sedemikian korupnya sehingga korupsi terjadi hampir di semua lini dari yang paling atas sampai paling bawah. Mulai dari membuat KTP, mengurus paspor, mengurus ijin usaha, sampai proses pengadilan tidak ada yg lepas dari korupsi. Sedemikian korupnya sampai-sampai Badan Antikorupsi seperti KPK bahkan mau diberangus.

Ketiga: ciri ketiga manusia Indonesia adalah berpikir pendek, tidak punya visi jauh ke depan. Hal ini terkait erat dengan dua ciri di atas, mau cepat kaya supaya bisa hidup mewah dan boros, tapi di lain pihak tidak mau bekerja keras. Jadilah berpikiran pendek dan tidak punya visi. Saya ingin beri contoh, khususnya terkait pengembangan benih padi hibrida. Indonesia tidak mau mengembangkan benih padi hibrida, karena lebih senang jalan pintas yaitu membeli benih dari China. Dalam jangka panjang pola seperti ini jelas tidak ada manfaatnya, karena menyebabkan ketergantungan kita pada China. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya visi tentang masa depan. Tentu selain contoh ini Anda bisa mendapatkan ribuan contoh lainnya.

Keempat: yang terakhir ini bisa dikatakan menjadi rangkuman atas tiga ciri sebelumnya: karena ingin mewah dan boros, jadi perlu banyak uang alias harus cepat kaya tanpa usaha, hal ini membuat manusia Indonesia jadi berpikir pendek dan tidak punya visi. Apabila ketiga hal ini terpenuhi jadilah manusia Indonesia makhluk yg bodoh. Anda bisa melihat sendiri bagaimana Indonesia yang kaya raya dengan hasil tambang emas, minyak, tembaga, kaya dengan tanah yang subur dan hasil bumi, kaya dengan budaya yang beragam, kaya dengan hutan raya berikut flora faunanya. Saat ini menjadi bangsa yg terpuruk, terjerat hutang, bergantung pada negara lain, dilecehkan oleh negara tetangga. Hal itu hanya bisa terjadi kalau manusia Indonesia itu bodoh.

Wednesday, February 03, 2010

SBY mau Apa ?



Jika Boediono menginginkan tindakan elegan, lain lagi dengan SBY.

Dalam rapat kerja para menteri dan gubernur se-Indonesia hari Selasa kemarin (2/02/2010) Presiden SBY mengutarakan kekecewaannya atas pelaksanaan demonstrasi/unjuk rasa akhir-akhir ini di berbagai daerah di Indonesia (Kompas, 3 Feb 2010).

Unjuk rasa dinilai oleh presiden sudah keterlaluan karena,"Ada yg bawa kerbau, SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau".

Menurut saya, rakyat dan para pendemo yg mewakili rakyat itu, sudah bosan, muak dan jijik dengan pemerintah, yang tidak pernah bertindak tegas atas berbagai permasalahan bangsa, yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat.

Kasus KPK-Polri, kasus Bank Century dimana negara dirugikan Rp 6,7 Trilyun, kasus Antasari dimana kuat dugaan adanya rekayasa, kasus pembalakan liar (penjarahan hutan), kasus semakin lemahnya daya saing kita dengan berlakunya ACFTA, kasus Munir dan ribuan kasus lainnya. Semua masalah tidak ada yg teratasi dengan tuntas karena tidak adanya tindakan nyata, tegas dan berani dari pemerintah.

Saya kira sudah waktunya SBY berhenti mengeluh dan curhat ke sana-sini. Berhentilah mengeluh dan berhentilah bersikap seolah-olah menjadi korban yg perlu dikasihani. Bahwa diperlakukan seperti itu oleh rakyat dan para pendemo, mawas dirilah. Saya yakin rakyat punya alasan yg kuat hingga bertindak seperti itu. Sekaranglah saat yg tepat untuk menunjukkan kepemimpinan, ketegasan dan komitmen kepada rakyat.

Tuesday, February 02, 2010

Boediono mau Elegan ?

Wakil Presiden RI Boediono mengatakan bahwa dirinya siap kehilangan jabatan sebab dirinya hanya mengabdi bagi kepentingan dan kesejahteraan bangsa dan negara, namun Boediono mengingatkan hendaknya ditempuh cara yg elegan (Kompas, 30 Januari 2010).

Saya kira pernyataan ini menarik, setidaknya kita menjadi tahu bahwa Boediono bukan tipe orang yg mengejar jabatan, dan beliau mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadinya. Selain itu beliau juga mengedepankan cara-cara yang elegan dalam bertindak.

Tapi bila kita mengikuti jalannya diskusi pada saat Boediono dipanggil oleh Pansus Century tanggal 12 Januari 2010 lalu, kesan yg ditimbulkan sangat berbeda.

Pertama bahwa terhadap banyak pertanyaan Boediono hanya bisa menjawab tidak tahu, lupa, atau "...mohon dicek ke menteri keuangan...". Yang paling aneh adalah ketika Pansus Century menanyakan apakah uang LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yg dipakai untuk bail out Century sebesar lebih dari Rp 6 Milyar adalah uang negara. Boediono hanya menjawab: "Itu saya serahkan ke ahli hukum".

Tidak masuk akal bahwa Boediono selaku mantan Gubernur Bank Indonesia tidak tahu bahwa dana tersebut adalah uang negara.

Kedua, Boediono berpendapat bahwa Bank Century dirampok oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular, anehnya Boediono tidak pernah mengupayakan penangkapan Polisi atas Tantular. Inisiatif itu justru datang dari Jusuf Kalla (Wapres saat itu). Hal ini diakui sendiri oleh Boediono.

Dari kedua hal tersebut di atas, Anda bisa menilai sendiri apakah Boediono bertindak elegan ?, Karena kesan yg tampak adalah melempar tanggung-jawab dengan kedok lupa, tidak tahu atau menyerahkan pertanyaan ke ahli hukumnya.

Thursday, January 28, 2010

Koruptor itu Kafir

Saya selalu merasa sedih jika masih ada orang Indonesia yg memberi cap "kafir" kepada orang lain. Orang yg menyebut orang lain kafir, tentulah merasa imannya sendiri yang paling benar, paling suci, tidak ada salah. Pada saat yang sama orang tersebut menutup mata terhadap adanya keberagaman, pluralitas.

Tapi saya sangat terkesan dengan ucapan Haidar Bagir di majalah Tempo edisi khusus, Desember 2009: "Koruptor itu Kafir"
Orang berbeda iman dengan kita, bukanlah kafir, tapi dia mengenal Tuhan dengan caranya sendiri, tentu punya alasan dan latar belakangnya sendiri, dia bertanggung-jawab atas keyakinan imannya, dan dia menanggung sendiri akibat dari kepercayaan yg dianutnya itu. Orang berbeda iman dengan kita bisa jadi orang yang baik, pekerja keras yang jujur dan ulet.
Bagaimana dengan koruptor ? Sekalipun dia seorang yang taat beribadah menurut agamanya, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, tapi jika dia koruptor, maka secara praktis dia tidak mengenal Tuhan dan tidak peduli dengan sesamanya. Istilah kerennya atheis praktis, secara legal formal dia beragama, tercatat di KTP dan aktif dalam kegiatan ibadah, sholat, bersembahyang, berpuasa, tapi secara praktis dia tidak peduli dengan itu semua. Pada saat dia korupsi, dia tidak melihat realitas di sekitarnya, orang-orang miskin yg kelaparan, rakyat yg dia ambil haknya, anak-anak terlantar yg seharusnya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dst. dst.

Konspirasi Menghancurkan Antasari - KPK

Saya selalu berkeyakinan bahwa akar dari segala akar keterpurukan negeri ini adalah korupsi. Korupsi yg merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi yg menyebabkan kita terjebak dalam hutang. Korupsi yang membuat negeri ini semakin hari semakin bodoh dan miskin. Korupsi yang membuat negeri ini lemah dan mandul, kehilangan kehormatannya, dianggap sebelah mata oleh negara lain.

Ironisnya adalah, justru pada saat KPK - lembaga antikorupsi bentukan pemerintah - telah berhasil menunjukkan prestasi luar biasa dalam perang melawan korupsi, justru pemerintah sendiri yg "seakan-akan" berkehendak menghentikan KPK.

Pertama adalah penangkapan Antasari Azhar yg tidak lama kemudian diikuti dengan proses hukum terhadap Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah. Berbeda dengan Bibit dan Chandra yg akhirnya terbebas dari proses pengadilan karena memang terbukti tak bersalah, kasus Antasari terus berlanjut ke pengadilan.

Di sinilah kita bisa melihat - jika Anda cukup jeli - mengikuti proses persidangan Antasari, akan Anda lihat betapa banyaknya kejanggalan dan keanehan. Kejanggalan paling besar saya kira adalah adanya pengakuan dari Komisaris Polisi Wiliardi Wizard, yang mengaku dipaksa oleh Institusi POLRI untuk membuat pengakuan yg menyudutkan Antasari. Kejanggalan besar kedua adalah kesaksian Komisaris Jenderal Susno Duaji (mantan Kabareskrim) yang meringankan Antasari. Kesaksian Susno ini membuat "kegaduhan" di tubuh POLRI, tidak lama kemudian POLRI menarik segala fasilitas jabatan yg masih dipakai Susno seperti mobil dinas, supir dan pengawal. Hebatnya lagi setelah itu Susno menerima ancaman-ancaman yg disampaikan lewat sms dan telepon.

Tentu jadi tanda tanya bagi kita semua, apakah betul bahwa pimpinan POLRI merasa gerah dan terganggu dengan kesaksian Susno ? Apakah ada hubungan antara kesaksian Susno (yang meringankan Antasari) dengan tindakan POLRI menarik mobil dinas, supir dan pengawalnya ? Apakah ada kaitan antara kesaksian Susno dengan ancaman yg diterimanya pertelepon dan sms ? Apakah pihak yg tidak suka dengan Susno itulah yg mengirimkan ancaman ? Siapakah di negeri ini yang berani mengancam seorang Jenderal Polisi berbintang tiga ?

Kejanggalan besar yang terakhir adalah tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh Jaksa. Bagaimana mungkin dengan kejanggalan-kejanggalan fakta yg jelas sekali terungkap di pengadilan, jaksa tetap bersikukuh bahwa Antasari bersalah dan layak dihukum mati ?

Monday, January 04, 2010

Selamat Jalan Gus Dur

Menjelang pergantian tahun 2009 – 2010 banyak isu menarik yg muncul, yg terbesar mungkin adalah kasus Bank Century, lalu kontroversi buku karangan George Junus Aditjondro yg berjudul Gurita Cikeas. Tapi semua isu tadi seolah lenyap tak berbekas setelah wafatnya mantan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur adalah sosok kontroversial yang kerapkali berseberangan paham dengan apa yg dianut oleh kebanyakan orang. Pada saat banyak orang berdemo anti zionisme, Gus Dur justru pergi ke Israel, pada saat orang cenderung membela agama sendiri dan (diam-diam atau terang-terangan) menjelekkan agama lain, Gus Dur justru dengan keras menyampaikan otokritiknya pada Islam.

Bagi saya pribadi Gus Dur sungguh tokoh yang luar biasa karena keberpihakannya pada mereka yg minoritas, yg tertindas, yg terpinggirkan. Semangat kemanusiaan Gus Dur saya kira sungguh patut menjadi teladan bagi bangsa Indonesia. Justru di sinilah letak masalahnya, sepeninggal Gus Dur, banyak tokoh memuji-muji Gus Dur sebagai tokoh terdepan yg memperjuangkan pluralitas di Indonesia. Tapi pertanyaannya: siapa yg akan menjadi penerus beliau ? bahkan mereka yg memuji semangat pluralisme Gus Dur sekalipun mungkin belum tentu sepaham dengan beliau.

Namun demikian saya tetap optimis, bahwa benih yg ditabur Gus Dur akan berkembang subur, setidaknya di kalangan generasi muda NU, dan semoga pada segenap generasi muda Indonesia.