Friday, June 27, 2014

Mencermati Debat Capres, Isu Pertahanan & Politik Luar Negeri

Menyaksikan debat capres yang ketiga asyik juga, khususnya setelah bosan dengan kampanye hitam penuh fitnah yg sangat ramai selama ini.

Secara umum baik Jokowi maupun Prabowo mempunyai pandangan kurang lebih sama yaitu bahwa ketahanan ekonomi adalah yang paling penting, bahwa kalau mau kuat, punya angkatan bersenjata yang kuat, berwibawa dan disegani, maka yang paling penting adalah membangun perekonomian negeri ini.

Namun bila kita masuk ke beberapa hal yang lebih rinci, lagi-lagi kedua pihak masing-maing punya "kesalahan"nya sendiri.

Sebagai contoh Jokowi mempertanyakan soal pengadaan tank Leopard, yg dikatakan tidak cocok dengan medan geografis Indonesia, bisa merusak jalan bahkan tidak ada jembatan yg sanggup menahan bobotnya dst.

Prabowo menjawab secara sangat normatif bahwa tentunya pihak TNI sudah melakukan kajian tentang hal tersebut, bahwa tentu telah dilakukan studi mendalam yg memperhatikan segala aspek. .Intinya Prabowo tidak ingin mempetanyakan keputusan TNI soal pengadaan tank Leopard tersebut.  Soal tank berat di daerah tropis, Prabowo berkilah bahwa tank berat digunakan di medan perang Vietnam (yang medan geografinya sama dengan Indonesia) tanpa ada masalah.  (catatan: sejauh ini hasil googling saya, belum ada info mengenati tank berat (MBT/main battle tank) di perang Vietnam, yg ada adalah tank kelas menengah.

Saya melihat bahwa kedua capres sudah berangkat dari pemikiran yang tepat (saya tidak berani untuk mengatakan "sempurna"), yaitu bahwa ketahanan ekonomi adalah yang utama.  Hal tersebut sudah menjadi  concern saya juga sejak lama.Tapi lagi-lagi kedua capres juga sama-sama "gagal" dalam implementasinya, Jokowi salah fokus, Prabowo malah lebih parah, karena tidak punya sikap kritis (menyerahkan sepenuhnya penilaian soal tank berat ke TNI).

Menurut saya yang menjadi isu bukanlah soal cocok tidaknya tank berat di daerah tropis, tank berat atau MBT (main battle tank) bisa mempunyai bobot hingga 60 ton.  Menurut saya isunya adalah urgensi membeli tank ini. Apa urgensinya, ancaman apa yg dihadapi. Apakah ancaman itu sudah sedemikian urgen (misalnya pasukan musuh sudah ada di perbatasan, tinggal menunggu komando untuk menyerang Indonesia ?).

Menurut saya tidak ada urgensinya Indonesia membeli tank Leopard, sebab tidak ada musuh nyata yang secara mendesak perlu dihadapi dengan tank berat.  Hal ini kemudian dikaitkan dengan kondisi ekonomi negara kita, dengan hutang luar negeri yang sudah menjadi beban pemerintah sebesar 269 Milyar US$, kita membeli 180 tank Leopard seharga 280 US$.  Dikaitkan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, bagi saya itu tindakan yang tidak masuk di akal sehat. Apalagi argumen Menteri Pertahanan yang mengatakan bahwa negara tetangga sudah mempunyai tank berat.  Menurut saya itu argumen yang tidak cerdas.

Menurut saya, sekali lagi menurut saya yg awam ini, negara yg paling berpotensi menjadi musuh nyata Indonesia saat ini adalah Malaysia, (sudah terbukti dengan pendudukan Malaysia atas beberapa pulau Indonesia). Ancaman tersebut tidak bisa dihadapi dengan tank berat, karena tidak mungkin terjadi perang terbuka dimana Malaysia melakukan invasi ke pulau Jawa misalnya, seandainya pecah perang, pasti terbatas di area yg diperebutkan, dan senjata yang lebih dibutuhkan (menurut saya yang awam ini) adalah kapal perang dan (terutama) kapal selam.

Selain isu tank berat, Prabowo juga membahas hal lain yang tak kalah aneh yaitu postur kekuatan TNI AD, yang dikatakan saat ini memiliki 160 batalyon tempur, padahal jumlah kabupaten ada lebih dari 500.   Singkat kata, idenya Prabowo adalah di setiap Kabupaten harus ada 1 batalyon tempur. Lagi-lagi menurut saya ini bukan hal yang urgen untuk dibahas. Karena komando teritorial menurut saya bukan prioritas, musuh kita adalah negara lain, bukan rakyat sendiri, oleh sebab itu penempatan satu batalyon di setiap kabupaten menjadi tidak relevan.   Lebih penting menurut saya adalah modernisasi persenjataan dengan mengutamakan produksi dalam negeri.  






 


Sunday, June 15, 2014

Dialog sensitif Menjelang Pilpres 2014

Beberapa hari lalu, saya bertemu dan berdialog dengan seorang sahabat, kawan dekat cukup lama, dia seorang non Muslim, tepatnya Katolik.

Meski kami berbeda keyakinan tapi kami bebas berdiskusi, mungkin karena sudah menjadi kawan sejak kecil, sudah ada rasa percaya dan tidak ada kekhawatiran untuk mengungkapkan pikiran secara terbuka.

Dia menyampaikan keprihatinan dan keheranannya, ada apa dengan bangsa ini. Keheranan bermula dari apa yg dilihatnya, yaitu begitu kuat dan banyaknya pendukung Prabowo Subianto sebagai capres. Padahal jujur saja menurut dia, Prabowo jauh lebih banyak "mudharat"nya, keterkaitan Prabowo atas kasus 1998, pemecatan dari dinas militer, begitu banyak fitnah dan kampanye hitan dari kubu Prabowo, lalu koalisi yang dibangun Prabowo yang terang-terangan merupakan koalisi berbasis transaksi dan bagi-bagi jabatan. Relasi atau jaringan yg dibangun Prabowo dengan partai-partai korup (meskipun PDIP juga korup).

Sahabat saya punya dugaan yang kemudian berubah menjadi keyakinan, bahwa dukungan publik pada Prabowo terutama karena satu hal yaitu sentimen agama (baca: ketidak-sukaan atau kebencian pada Kristen).  Itulah sebabnya seberapapun "dosa"nya Prabowo dan tingkah lakunya yang kotor (keterlibatan pada kasus 1998, fitnah, kampanye negatif, sikapnya yang pro Orba/Soeharto dan segala hal buruk lainnya) publik tetap akan memilih dia karena satu hal: koalisi Prabowo dengan partai-partai Islam.

Sebaliknya Jokowi, meskipun lebih merakyat, bijak dan punya rekam jejak yang bersih banyak orang tidak bisa menerima "persekongkolan" Jokowi dengan PDIP yang dianggap sekuler, kebijakan Jokowi yang dinilai pro Kristen bahkan pro Zionisme (meskipun tanpa bukti), dll.

Singkat kata, sahabat saya ini merasakan adanya aura bawah sadar masyarakat, adanya kebencian pada Kristen.  Dia sebut salah satu contohnya, waktu dia mendengar orang berkata: "Jangan pilih Jokowi jadi presiden, sebab nanti Ahok yg Kristen naik jadi Gubernur Jakarta". 

Jadi dia merasakan bagaiman sikap masyarakat yang bahkan lebih rela dipimpin penjahat asalkan dia pro Islam dibandingkan dengan seorang Kristen atau pro Kristen.

Diskusi kami berlanjut, saya katakan bahwa bisa jadi kegelisahan yang dia rasakan itu benar adanya.  Pertanyaannya sekarang adalah kenapa (warga Kristen begitu dibenci) dan bagaimana menghadapi ini (bagaimana seharusnya warga Kristen bersikap).

Saya katakan bahwa agama Kristen dan/atau Katolik punya dosa sejarah.  Penjajahan oleh dunia barat pada masa kolonialisme dibaca sebagai penjajahan oleh Kristen.  Selama perang salib, kaum Kristen melakukan kekejaman pada umat Muslim. Sekarangpun kampanye melawan terorisme yang didengungkan oleh Amerika (Barat) dibaca sebagai serangan terhadap Islam (sekalipun tidak sepenuhnya benar, karena Amerika melakukan kekejaman yang sama ke Amerika Latin yg Katolik).

Sahabat saya berpikir lama, terdiam dan mengangguk-angguk, "....bisa.jadi benar....."

Kemudian saya tambahkan, ".....tapi kalian orang Kristen, tidak perlu berkecil hati, karena Islam dan bangsa Indonesia sebetulnya punya toleransi yang besar.....".  Saya katakan bahwa sekalipun ada FPI yg dengan garangnya menggunakan kekerasan untuk "membela" Islam, tapi tidak sedikit umat Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara FPI.....   Selain itu meskipun banyak sekali pendukung Prabowo yg dilihat sebagai pembela Islam, banyak pula pendukung Jokowi yang meletakkan bangsa dan negara ini di atas segala-galanya. Jadi, saya katakan lagi,"...... kamu masih tetap harus bersyukur........"

Saya lanjutkan, bahwa warga Kristen harus lebih peka, menyadari adanya "dosa sejarah" yang dilakukan oleh Kristen, yang mungkin masih lekat dipersepsi oleh banyak Saudara Muslim.

Saya tambahkan lagi untuk membesarkan hati sahabat saya bahwa selama ini sebetulnya sudah banyak juga umat Kristen atau tokoh Kristen yang memainkan peranan besar bagi bangsa ini, saya contohkan misalnya
Soegijapranata, seorang pejabat gereja yang sekaligus pemimpin pejuang, lalu orang-orang seperti Romo Mangun yang selalu tampil di depan membela wong cilik, lalu Romo Sandiawan Sumardi (yang  terang-terangan mendukung gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998) juga Romo Magnis Suseno dan Mudji Sutrisno yang aktif menjalin relasi dengan kelompok-kelompok Islam.

Warga Kristen harus lebih aktif terlibat dengan bangsa ini, memainkan peranan penting dan menunjukkan keberpihakan pada rakyat.

Saya tambahkan pula bahwa Soeharto juga mempunyai peranan besar membuat warga Kristen tidak disukai, karena strategi Soeharto yang membungkam suara dan kekuatan Islam, sementara di lain pihak Soeharto menjalin relasi kuat dengan CSIS (group pemikir yang dibentuk oleh kelompok Kristen), tambahan pula salah satu tangan kanan Soeharto adalah Jendral LB Murdani yang beragaman Katolik.  Semua itu membuat kebencian banyak orang pada Kristen. Sekalipun belum tentu pemikiran tersebut benar, sebagai contoh sepanjang yg saya lihat Jendral LB Murdani adalah seorang militer tulen (menomor satukan bangsa dan negara, dan tidak ambil pusing dengan gereja).

.....lama kami terdiam......

Dialog dan diskusi panjang ditutup dengan doa dan harapan, siapapun yang terpilih memimpin negeri ini, semoga Indonesia menjadi lebih baik, rakyat sejahtera dan damai, hukum ditegakkan dan  korupsi diberantas, dan rakyat negeri ini bisa berdiri tegak dengan bangga: saya orang Indonesia..
.






Thursday, June 12, 2014

Wawancara dengan Jenderal Reformis

Selama ini saya amati, jarang sekali ada Jenderal yang punya pemikiran progresif, maju, terbuka, yg tidak lagi dikungkung oleh arogansi kuasa (dan senjata).  Saya sempat surprise juga waktu menyimak wawancara MetroTV dengan Letnan Jenderal (purn) Agum Gumelar, mantan DanJen Kopassus, sekaligus dulu anggota DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang melakukan penyelidikan atas kasus penculikan yg dilakukan oleh Prabowo Subianto.

Saya kira apa yg disampaikan Agum pada wawancara tersebut menarik untuk dicermati, terlebih saat sekarang ini dimana kita perlu informasi yang lebih lengkap terkait para Capres, rekam jejak dan sepak terjang mereka di masa lalu.

Selain menarik dicermati, beberapa bagian saya kira bagus dijadikan acuan, sebab masyarakat kita (harus diakui) mudah silau oleh sesuatu yang kelihatan hebat, lupa dengan esensi atau substansi masalah. Soal tegas misalnya, orang yang diam tidak banyak bicara tidak berarti kurang tegas, sebaliknya orang yang bicara lantang berapi-api bisa saja sebetulnya seorang yg mencla mencle tak berpendirian. Apa esensi tegas misalnya, menarik untuk mendengarkan pendapat Agum.

Hal lain yang saya kira menarik dari Agum adalah visinya soal Indonesia, bahwa pertama-tama kita harus mengutamakan Indonesia, bukan agama tertentu atau suku bangsa tertentu. Saat bicara soal penegakan hukum, Agum jelas menyatakan: tidak boleh lihat agama Islam atau Kristen atau Hindu, tidak boleh lihat jabatannya apa, siapa yg bersalah harus dihiukum.

Lebih jelasnya silakan Anda simak rekaman wawancara tersebut di Youtube sebagai berikut:


Link lain dengan isi yang kurang lebih sama: Pemecatan Prabowo dari militer di mata para pemecatnya.