Thursday, November 17, 2016

Kesombongan Ahok dan Kekacauan Berpikir Masyarakat

Membahas berbagai keributan dan keramaian yang terjadi akhir-akhir ini di Jakarta, saya tidak ingin berpanjang kata, menurut saya akar masalahnya ada dua: kesombongan Ahok dan kebodohan masyarakat.

Bahwa Ahok telah berjasa banyak bagi Jakarta saya kira banyak orang sudah tahu.  Sungai-sungai dinormalisasi menjadi rapi dan bersih, banjir berkurang, taman-taman dibangun, rumah susun dibangun, layanan publik menjadi lebih baik dan cepat.   Korupsi anggaran di Pemda DKI (dan DPRD DKI) diberantas, semua proses dibuat transparan dan terbuka.

Tapi di lain pihak kita juga melihat karakter Ahok tidak menyenangkan, bicara cenderung kasar, marah-marah, pernah dalam wawancara dengan satu stasiun TV, yg terlontar adalah kata-kata kasar dari dunia kebun binatang. Ahok juga mungkin terlihat lebay, lurah yg dilantik hari ini bisa jadi dipecat minggu depan, atau bahkan camat yg akan dilantik, dibatalkan pelantikannya hanya beberapa saat menjelang pelantikan.

Saya setuju kerja keras untuk membangun Jakarta, saya juga setuju dengan perjuangan melawan premanisme dan korupsi tapi saya rasa keseimbangan juga penting. Tidak perlu bicara kasar, tidak perlu lebay, tidak perlu sombong, jangan merasa benar sendiri sebab tidak ada orang yang 100% benar atau 100% salah.  Semua orang pasti punya kelebihan di satu sisi dan kekurangan di sisi yang lain.

Terbukti bahwa karena kurang hati-hati, Ahok salah ucap pada saat bicara di depan masyarakat Kepulauan Seribu, rekaman videoya tersebar, transkrip pidatonya diedit sedikit dan disebarluaskan melalui media sosial dan menimbulkan kemarahan umat (yang terprovokas dan tdk memahami konteks).

Saya bukan pendukung Ahok dan tidak bermaksud membela Ahok, tapi saya mengajak Anda untuk berpikir rasional dengan akal, bukan pertama-tama mengedepankan sentimen agama.  Cobalah kita jujur, jika kita ikuti dan cermati sepak terjang Ahok selama ini, bagaimana Ahok bersikap terhadap umat Islam dan bagaimana kebijakan Ahok terkait agama Islam, saya berani menyimpulkan bahwa Ahok tdk bermaksud menistakan agama Islan.  Bahwa Ahok salah itu jelas, tapi saya melihat itu bukan tindak pidana atau penistaan, itu adalah soal etika/sopan santun dan juga ada soal linguistik di situ.  Bahwa tidak pantas seseorang menyinggung ayat-ayat dari Kitab Suci agama lain.

Di lain pihak kita juga harus jujur dan fair bahwa pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 itu tidak lepas dari kampanye pihak lain yang terlbih dahulu membawa ayat-ayat Kitab Suci dalam materi kampanyenya.  Berawal dari sinilah menurut saya kekacauan itu terjadi.

Menurut saya, sekali lagi menurut saya agama dan politik tidak bisa dicampur. Bahasa mudahnya: agama yg suci tidak bisa dicampur dengan politik yang kotor. Pertanyaannya: kenapa ?

Jawabnya adalah karena proses politik mengacu pada UU dan konstitusi, bukan hukum agama.

Apabila ayat-ayat kitab suci (dari agama apapun) dipakai untuk kepentingan politik (baca: kampanye) untuk menarik pendukung tertentu hasilnya adalah kekacauan karena dua hal yang berasal dari dunia berbeda (dan tidak kompatibel satu sama lain) dicampur aduk.

Jika kita mengatakan bahwa umat Islam terluka dan tersinggung karena ucapan Ahok yang menyebut-nyebut surat Al Maidah, secara jujur kita juga bisa mengatakan bahwa umat non muslimpun tersinggung pula ketika didengungkan bahwa orang kafir tidak layak dipilih sebagai pemimpin.  Pertama karena pemilihan kepala daerah mengacu pada UU Pemilu bukan pada hukum agama. Kedua orang kafir berhak merasa tersinggung karena dianggap tidak layak menjadi pemimpin, padahal bisa jadi mereka juga mempunyai kapabilitas yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan pemimpin muslim.  Jadi prestasi dan pencapaian mereka tidak dihargai semata-mata karena mereka non muslim.

Pertanyaan lanjutan, bolehkah Ulama atau pemimpin agama mengingatkan umatnya untuk mengacu pada kitab suci pada saat memilih pemimpin ? Jawabannya jelas: boleh.... dengan catatan bahwa proses mengingatkan tersebut dilakukan secara terbatas dalam lingkup terbatas umat, bukan dalam kampanye terbuka yang dihadiri oleh berbagai orang yg berasal dari berbagai latar belakang.





Kasihan Rakyat Indonesia

Pada saat Jokowi memenangkan pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2014 lalu, saya melihat kegembiraan meluap-luap hampir di segenap penjuru negeri ini.  Bukan hanya sebuah kemenangan yg ditunggu-tunggu dan diharapkan dengan cemas, tapi terlebih karena adanya harapan akan perubahan keadaan negeri ini, kemana lagi tentu ke arah yang lebih baik.

Apa yg terjadi kemudian adalah antiklimaks.  Perlahan-lahan publik menyadari bahwa apa yang diharapkan dan ditunggu-tunggu itu hanyalah mimpi di siang hari yang terang benderang.  Kebijakan-kebijakan yang diambil presiden Jokowi tidak banyak berbeda dengan pendahulunya. Saya sebut saja beberapa contoh: komitmen terhadap kasus pelanggaran HAM, komitmen atas perang melawan korupsi, kebijakan ekonomi dll.

Salah satu contoh yang nyata adalah kebijakan kerja sama dengan China yang berujung dengan datangnya para pekerja kasar dari China. Jelas itu kebijakan yang mengecewakan dan menyakitkan, di saat lapangan pekerjaan sulit dan tingkat pengangguran tinggi....

Kebijakan membangun kereta cepat Jakarta Bandung (lagi-lagi kerja sama dengan China), silakan Anda menilai sendiri seberapa urgennya membangun kereta cepat Jakarta Bandung. Saya pribadi berpendapat membangun kereta bandara yang sudah direncanakan bertahun-tahun yang lalu, jauh lebih penting untuk didahulukan.  Juga memperluas jaringan KRL commuter yg selama ini melayani jalur Jakarta Bogor dan Jakarta Bekasi, sy yakin itu jauh lebih pentng untuk dikembangkan.

Entah dari mana pak Jokowi punya ide membangun kereta cepat Jakarta Bandung, siapa penggagas ide tersebut ? walahualam....

Tentu ada banyak hal positif juga yg telah dibangun oleh pak Jokowi, misalnya perang menegakkan kedaulatan Indonesia di laut, menangkap pencuri ikan dll.  Tapi selalu saja ada satu dua kebijakan yang terasa janggal dan semakin janggal karena itu menyangkut harkat & martabat rakyat Indonesia.

Contoh lainnya adalah pengangkatan Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi & Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016.  Aneh bin ajaib bahwa seorang dengan status warga negara asing bisa diangkat menjadi menteri, hal itu menunjukkan kecerobohan administratif pemerintah Jokowi.  Lebih aneh lagi bahwa setelah diberhentikan sebagai menteri pada 15 Agustus 2016, Arcandra diangkat lagi kali ini sebagai Wakil Menteri Energi & Sumber Daya Mineral.  Pertanyaan untuk pak Jokowi kenapa begitu ngotot mengangkat Arcandra sebagai pejabat ?  ada apa, apa tidak ada calon potensial yang lain, sedemikian miskinnyakah kita dengan orang-orang yg punya kapabilitas menjadi Menteri ?

Alhasil saya kasihan dengan rakyat Indonesia yang seolah-olah telah "ditipu" atau "tertipu" oleh janji-janji manis dan muluk pada saat kampanye dulu.   Lepas dari mulut buaya, jatuh ke dalam mulut buaya lain (yg lebih kecil).   Nasibmu jadi rakyat.