Thursday, July 16, 2020

Kasihan Rakyat Indonesia

Kita harus jujur, bahwa setelah 75 tahun merdeka keadaan negara kita masih jauh sekali dari apa yang diharapkan oleh para pendiri bangsa ini - atau oleh kita sendiri saat ini. Bandingkan dengan Jerman dan Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II  dan negaranya hancur lebur di tahun 1945, atau  dengan Malaysia yang baru merdeka di tahun 1957, negara kita semakin jauh tertinggal.

Dari hari ke hari, kita disuguhi dengan berita yang isinya kebodohan demi kebodohan, kekonyolan, (dungu kata Rocky Gerung) dan berbagai berita buruk lainnya. Itulah mengapa saya memberi judul "kasihan rakyat Indonesia"pada posting ini.

Foto Djoko S. Tjandra

Saya sebut saja beberapa kekonyolan yang baru-baru ini terjadi (silakan ditambah sendiri):
- rencana pengadaan kalung anti corona oleh Departemen Pertanian
- lolosnya Djoko Tjandra koruptor BLBI yang bertahun-tahun menjadi buronan Interpol masuk ke Indonesia, mengurus KTP untuk mengajukan PK
- pembahasan RUU HIP oleh DPR
- dibiarkannya ekspor benih lobster oleh banyak perusahaan yang ternyata dimiliki oleh pejabat dari  partai pemenang Pemilu
- ribut-ribut demo anti komunisme/PKI
- pembahasan RUU PKS yang dihentikan oleh DPR dengan alasan sulit
- banyaknya mualaf yang menjadi ulama, menyebarkan banyak kebohongan (mis anak Kardinal) tapi sungguh ajaib bahwa ulama tsb tetap eksis dan banyak peminatnya
- hukuman ringan untuk penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan dengan alasan perbuatan tsb tidak sengaja dilakukan

Gambar diambil dari Twitter

Apa yang saya tulis di atas itu hanya sebagian kecil saja dari lebih banyak lagi kekonyolan dan kebodohan yang dilakukan oleh bangsa ini.

Gambar diambil dari Twitter
Kasihan rakyat Indonesia.

Tuesday, June 04, 2019

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H

Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H
Mohon Maaf Lahir & Batin





gambar diambil dari Twitter, akun @KaryaAdalah Doa






foto diambil dari Twitter, akun @narkosun

Sunday, May 26, 2019

Celakalah Bangsa yang Bodoh dan Malas

Banyak peristiwa terjadi selama penyelenggaraan dan paska pileg dan pilpres Indonesia tahun 2019. Yang sangat menyolok adalah begitu masifnya penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian. Yang paling menyedihkan adalah kerusuhan paska penetapan pemenang pemilihan presiden, yang sudah ditetapkan oleh KPU pada tanggal 21 Mei 2019 yaitu Joko Widodo.

Berkembangnya berita bohong, hoax dan ujaran kebencian sudah mulai lama, terutama sejak pemilihan presiden tahun 2014, kemudian semakin marak pada kasus Ahok yg dituduh menista agama pada saat pemilihan gubernur DKI tahun 2017 dan terus berlanjut sampai pemilihan presiden di tahun 2019 ini.

Kerusuhan paska penetapan pemenang pemilihan presiden juga tidak lepas dari bumbu berita bohong, hoax dan ujaran kebencian yang sangat masif di masyarakat.

Saya berbincang dengan seorang pakar komunikasi dari salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini, intinya saya ingin tahu apa kira-kira penyebab begitu kacaunya kondisi sosial politik di Indonesia ini.

Dari diskusi tersebut saya berani menyimpulkan bahwa akar dari segala kekacauan ini adalah terutama karena kebodohan dan kemalasan.

Bodoh karena tidak tahu dan tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi, kebodohan tersebut menjadi lebih parah karena kemalasan.  Malas belajar, malas membaca, malas mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Alih-alih secara kritis belajar, membaca, mencari tahu atau mencari sumber informasi pembanding, banyak orang justru sok tahu dan secara emosional ikut menyebarkan berita bohong, hoax atau ujaran kebencian tersebut sehingga berita bohong tersebut justru semakin tersebar dan semakin banyak orang (bodoh) yang percaya dan turut menyebarkan kembali.

Jika Anda cukup jujur dan rendah hati, maka tidak sulit untuk menemukan bukti dari apa yang saya sampaikan tersebut.  Begitu banyak berita bohong terkait presiden kita Jokowi yang sudah tersebar luas dan dipercaya oleh (mungkin) jutaan rakyat Indonesia.  Saya tidak mengatakan bahwa Jokowi tidak punya kekurangan, sekali lagi jujur saja menurut saya cukup banyak juga kebijakan Jokowi yang janggal dan memberi kesan bahwa beliau tidak berpihak pada rakyat. Namun fakta tersebut tidak serta-merta membenarkan fitnah yang sudah tersebar bahwa Jokowi PKI, anti Islam, anti ulama, pro asing dan aseng dan sebagainya.

Cobalah kita jujur, mencari informasi yang lengkap dan berimbang dari semua pihak, bukan hanya pihak Anda atau kita saja, tapi juga dari pihak "lawan".  Cobalah uji informasi tersebut apakah benar atau tidak, apakah masuk akal atau mustahil.  Gunakan nalar dan hati nurani yang jernih.

Saya ingin memberi beberapa contoh, selama kerusuhan paska penetapan pemenang pemilihan presiden ada beberapa berita yang tersebar di media sosial
- anggota Brimob impor dari China menembaki Mesjid
- polisi menembaki perusuh dengan peluru tajam
- para pendemo melakukan aksi damai, tanpa kekerasan
- ada ambulans dari partai Gerindra yang membawa batu dan senjata tajam
- ada pensiunan Jenderal Komandan Pasukan Khusus yg menyelundupkan senjata
- bahwa Pemilu 2019 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia

Silakan Anda secara jujur mencari informasi kebenaran berita tersebut di atas, mana yg benar, mana yg bohong, gunakan nalar dan hati nurani Anda.

Sebagai contoh saja, saya ambil berita terakhir, sebelum menyimpulkan bahwa Pemilu 2019 adalah yg terburuk sepanjang sejarah Indonesia,  Anda harus cari tahu dulu sudah berapa kali Indonesia menyelenggarakan Pemilu, tahun berapa saja dan apa yg terjadi pada masing-masing Pemilu yang pernah dilaksanakan tersebut.

Memang melelahkan untuk mencari tahu dan melakukan klarifikasi sebuah berita itu benar atau tidak, tapi itu membuat Anda menjadi pandai, kritis dan bisa membuat bangsa ini menjadi lebih baik.

Saturday, May 26, 2018

Krisis Nalar

Sadar atau tidak, kita sebetulnya saat ini sedang mengalami krisis nalar yang luar biasa parah.  Apa contohnya ? banyak, tak terbilang banyaknya.Silakan saja Anda baca koran, atau baca berbagai posting di media sosial.

Kenapa hal itu terjadi, saya menduga karena kepentingan pribadi, khususnya dalam perebutan kekuasaan (bukan sekedar pilpres) tahun 2019.  Hasrat untuk berkuasa ternyata menumpulkan nalar dan mengurangi kemampuan berpikir.

Saya ambil satu contoh saja, pernyataan Gatot Nurmantyo bahwa "...mengidentikkan teroris dengan Islam adalah diskriminasi..." Ini jelas pernyataan tendensius dan tak bernalar.  Pertanyaan saya, siapa yg mengidentikkan teroris dengan Islam ?   Faktanya para pelaku teror memang anggota organisasi keagamaan.  Contoh paling nyata adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yg dari nama organisasinya saja sudah jelas menyebutkan kata "Islam".    ISIS tak ragu-ragu melakukan berbagai teror, termasuk memenggal kepala orang sambil membawa-bawa simbol Islam.

Yang perlu menjadi perhatian menurut saya, bukanlah soal teror itu identik dengan agama apa, tapi bagaimana masing-masing pemuka agama mendidik dan mencerdaskan umatnya agar tidak menjadi pelaku teror.  Faktanya banyak pemuda Indonesia yg tertarik bergabung dengan ISIS, hal itu menunjukkan bahwa para pemuka agama telah gagal mendidik umatnya khususnya kaum muda untuk beriman secara benar dan cerdas.

Kesadaran akan perlunya mendidik umat agar beriman dengan benar dan cerdas hanya bisa dilakukan bila ada kesadaran dan pengakuan dari masing-masing pemeluk agama, bahwa memang ada yg salah, bahwa memang ada bahkan banyak pelaku teror dari kelompok agamanya, itu suatu hal yg harus diakui dan tidak perlu dibantah.



Saya cuplik pernyataan menarik dari satu posting di media sosial. Perlu jiwa besar dan nalar untuk mengakui ada yg salah dengan diri kita, dan bagaimana kita mengatasi masalah tersebut.



Saturday, May 19, 2018

Indonesia Mengerikan

Tidak hanya Jakarta yg mengerikan, tapi Indonesia ternyata juga (bahkan lebih) mengerikan lagi.

Rangkaian teror mulai dari kerusuhan di Mako Brimob, disusul pemboman di tiga gereja di Surabaya, kemudian bom di Polrestabes Surabaya terakhir bom di Polda Riau jelas merupakan teror yg mengerikan bagi kita.

Tapi tidak hanya berhenti di situ, teror masih berlanjut di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Ini bagian yg (menurut saya) tidak kalah mengerikan. Bagaimana ada orang yg bisa-bisanya tertawa melihat korban tewas karena bom, ada yg menuduh peristiwa itu hanya rekayasa polisi, entah untuk mendiskreditkan Islam atau mendapatkan dana untuk pemberantasan terorisme atau entah apa lagi.

contoh teror di media sosial


Sungguh mengerikan melihat masyarakat yg sdh hilang nalar dan hati nuraninya, dengan alasan (saya duga) persaingan politik untuk mencapai kekuasaan, yg lebih parah lagi sdh diwarnai dengan kebencian.

Namun di lain pihak harus diakui bahwa pemerintah sendiri punya andil juga dalam tragedi ini, terutama institusi kepolisian yang harus diakui tidak sepenuhnya bersih. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi sangat rendah dan hal ini disebabkan oleh ulah oknum anggotanya sendiri. Banyak kasus terjadi yg menimbulkan kesan polisi tdk sungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi (contoh kasus korupsi pelat nomor mobil) atau kasus Novel Baswedan yg hingga hari ini tdk jelas).

Polisi juga tdk transparan, kasus kerusuhan di Mako Brimob adalah contoh jelas bagaimana polisi tdk transparan, bahkan terhadap pemerintah sekalipun apalagi terhadap masyarakat. Lebih jelasnya Anda bisa baca reportase Mingguan Tempo.

Tapi sekali lagi, betapapun ada krisis kepercayaan pada kepolisian, adalah mengerikan dan sadis jika ada pihak-pihak yang justru merasa senang dengan teror yg terjadi, bersyukur atas kematian anggota polisi sungguh biadab dan tak berperikemanusiaan.

Mengerikan sekali melihat aura kebencian dan kebengisan para teroris dan pendukungnya, yang bisa jadi adalah tetangga kita atau rekan kerja kita di kantor. Mengerikan melihat bagaimana kebencian itu dipupuk, disuburkan, disebarkan. Lebih mengerikan lagi bahwa bibit-bibit kebencian itu diam-diam menyebar ke mana-mana, ke banyak orang, ke banyak tokoh termasuk para pemuka agama yg seharusnya mendidik dan mencerdaskan umat.  Lebih mengerikan lagi melihat pemerintah dan aparat kepolisian seolah tutup mata melihat itu semua.

Sunday, April 22, 2018

Jakarta Mengerikan

Ini adalah posting setelah lebih dari satu tahun absen, dengan alasan klasik kesibukan pekerjaan. Beruntung bahwa saya masih ingat user login dan password untuk masuk ke Blog ini.

Mengawali posting ini, perlu saya tegaskan di awal bahwa saya bukan pendukung atau penentang Ahok, juga bukan pendukung atau penentang Anis. Saya adalah warga Jakarta biasa, yang mendambakan kota Jakarta yang maju, tertib, manusiawi, aman dan nyaman ditempati, lepas dari siapapun gubernurnya saya tidak peduli.

Satu kata menggambarkan keadaan ibu kota Indonesia saat ini, Jakarta Mengerikan ! (dengan tanda seru).  Mungkin terdengar aneh atau kasar, tapi saya belum menemukan istilah lain yg lebih tepat untuk menggambarkan kondisi Jakarta saat ini.

Ada beberapa alasan dibalik pernyataan tersebut.

Pertama, (meskipun saya bukan pendukung Ahok) saya tidak bisa menghargai upaya Anis meraih kekuasaan dengan menggunakan isu agama (dan sara). Soal ini saya kira Anda semua -jika mau jujur- akan mengakui cara-cara tidak fair dalam meraih kekuasaan tersebut.

Kedua, kemacetan di Jakarta sudah mencapai tingkat yang luar biasa, tidak masuk akal. Di beberapa kompleks bahkan kemacetan sudah terjadi sejak di depan rumah, jadi Anda mengeluarkan mobil dari halaman rumah dan masih di dalam kompleks sudah terhambat dengan kemacetan. 

Yang menjadi masalah saya kira bukan kemacetan itu sendiri tapi tidak adanya kebijakan atau strategi pemerintah daerah dalam mengatasi kemacetan tersebut. Sekali lagi ini bukan soal Anis, jika mau jujur kemacetan parah sudah terjadi sejak jaman Fauzi Bowo, dan sejak Fauzi Bowo hingga Ahok dan sekarang Anis tidak ada atau belum ada kebijakan yang tepat sasaran untuk menyelesaikan masalah kemacetan ini.  Tidak adanya kebijakan tersebut memberi kesan seolah-olah gubernur tidak peduli dengan masalah kemacetan ini

Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak berupaya mengatasi kemacetan tapi saya mau mengatakan bahwa pemerintah tidak punya kebijakan atau strategi yang tepat untuk mengatasi kemacetan ini. Pembangunan jalan baru berkilometer panjangnya dan pemangkasan pohon di jalur hijau untuk dijadikan jalan tidak akan pernah menyelesaikan masalah kemacetan sebab bukan itu akar masalahnya.  Akar masalah kemacetan adalah tidak adanya transportasi publik yang memadai, sehingga warga memilih menggunakan kendaraan pribadi baik itu sepeda motor atau mobil.

Jika gubernur cukup cerdas, beliau akan sadar bahwa untuk membangun transportasi publik yang baik di kota sebesar Jakarta ini, tidak ada pilihan selain membangun jalur kereta api. Mengingat tingginya biaya maka saya kira tidak perlu membangun kereta api bawah tanah, cukup memperluas jaringan KRL commuter yang saat ini sudah ada untuk rute terbatas Jakarta - Bogor dan Jakarta - Bekasi.  Pembangunan transportasi berbasis KRL ini juga bisa memanfaatkan produksi dalam negeri PT Inka, tidak perlu mengimpor kereta bekas dari Jepang.

Setelah program pembangunan jalur KRL baru, pemerintah juga harus menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, tidak hanya mobil tapi juga sepeda motor. Salah satu cara praktisnya adalah dengan melipat gandakan pajaknya, baik pajak pembelian maupun pajak tahunan untuk perpanjangan STNK. Dana yang dihimpun dari pajak, bisa digunakan untuk membiayai sebagian kebutuhan pembangunan KRL.

Ketiga, masalah banjir.  Ini juga masalah yang sudah berpuluh-puluh tahun terjadi dan tidak pernah ada solusi menyeluruh yang dilakukan. Pembangunan BKT (Banjir Kanal Timur) perlu dihargai meskipun terbukti belum menyelesaikan masalah banjir di Jakarta.  Khusus banjir ini perlu kerja sama dengan semua pihak termasuk pemerintah daerah kabupaten Bogor untuk pelestarian area resapan air hujan di Bogor, Puncak dan Cianjur.

Ada beberapa hal yang menurut saya menjadi tugas berat pemerintah daerah Jakarta, yaitu merawat dan memastikan saluran air, bersih dari hambatan sampah agar lancar, kemudian kampanye besar-besaran untuk menjaga kebersihan agar warga tidak membuang sampah sembarangan termasuk ke saluran air atau sungai. Kemudian lagi kampanye besar-besaran agar warga membangun biopori  atau setidaknya menyisakan ruang terbuka hijau di pekarangan rumah untuk meningkatkan resapan air tanah dan mengurangi kemungkinan terjadinya banjir.

Masih banyak masalah lainnya, tapi saya kira untuk saat ini tiga hal tersebut adalah yang paling krusial yang perlu mendapat perhatian kita semua.

Thursday, November 17, 2016

Kesombongan Ahok dan Kekacauan Berpikir Masyarakat

Membahas berbagai keributan dan keramaian yang terjadi akhir-akhir ini di Jakarta, saya tidak ingin berpanjang kata, menurut saya akar masalahnya ada dua: kesombongan Ahok dan kebodohan masyarakat.

Bahwa Ahok telah berjasa banyak bagi Jakarta saya kira banyak orang sudah tahu.  Sungai-sungai dinormalisasi menjadi rapi dan bersih, banjir berkurang, taman-taman dibangun, rumah susun dibangun, layanan publik menjadi lebih baik dan cepat.   Korupsi anggaran di Pemda DKI (dan DPRD DKI) diberantas, semua proses dibuat transparan dan terbuka.

Tapi di lain pihak kita juga melihat karakter Ahok tidak menyenangkan, bicara cenderung kasar, marah-marah, pernah dalam wawancara dengan satu stasiun TV, yg terlontar adalah kata-kata kasar dari dunia kebun binatang. Ahok juga mungkin terlihat lebay, lurah yg dilantik hari ini bisa jadi dipecat minggu depan, atau bahkan camat yg akan dilantik, dibatalkan pelantikannya hanya beberapa saat menjelang pelantikan.

Saya setuju kerja keras untuk membangun Jakarta, saya juga setuju dengan perjuangan melawan premanisme dan korupsi tapi saya rasa keseimbangan juga penting. Tidak perlu bicara kasar, tidak perlu lebay, tidak perlu sombong, jangan merasa benar sendiri sebab tidak ada orang yang 100% benar atau 100% salah.  Semua orang pasti punya kelebihan di satu sisi dan kekurangan di sisi yang lain.

Terbukti bahwa karena kurang hati-hati, Ahok salah ucap pada saat bicara di depan masyarakat Kepulauan Seribu, rekaman videoya tersebar, transkrip pidatonya diedit sedikit dan disebarluaskan melalui media sosial dan menimbulkan kemarahan umat (yang terprovokas dan tdk memahami konteks).

Saya bukan pendukung Ahok dan tidak bermaksud membela Ahok, tapi saya mengajak Anda untuk berpikir rasional dengan akal, bukan pertama-tama mengedepankan sentimen agama.  Cobalah kita jujur, jika kita ikuti dan cermati sepak terjang Ahok selama ini, bagaimana Ahok bersikap terhadap umat Islam dan bagaimana kebijakan Ahok terkait agama Islam, saya berani menyimpulkan bahwa Ahok tdk bermaksud menistakan agama Islan.  Bahwa Ahok salah itu jelas, tapi saya melihat itu bukan tindak pidana atau penistaan, itu adalah soal etika/sopan santun dan juga ada soal linguistik di situ.  Bahwa tidak pantas seseorang menyinggung ayat-ayat dari Kitab Suci agama lain.

Di lain pihak kita juga harus jujur dan fair bahwa pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 itu tidak lepas dari kampanye pihak lain yang terlbih dahulu membawa ayat-ayat Kitab Suci dalam materi kampanyenya.  Berawal dari sinilah menurut saya kekacauan itu terjadi.

Menurut saya, sekali lagi menurut saya agama dan politik tidak bisa dicampur. Bahasa mudahnya: agama yg suci tidak bisa dicampur dengan politik yang kotor. Pertanyaannya: kenapa ?

Jawabnya adalah karena proses politik mengacu pada UU dan konstitusi, bukan hukum agama.

Apabila ayat-ayat kitab suci (dari agama apapun) dipakai untuk kepentingan politik (baca: kampanye) untuk menarik pendukung tertentu hasilnya adalah kekacauan karena dua hal yang berasal dari dunia berbeda (dan tidak kompatibel satu sama lain) dicampur aduk.

Jika kita mengatakan bahwa umat Islam terluka dan tersinggung karena ucapan Ahok yang menyebut-nyebut surat Al Maidah, secara jujur kita juga bisa mengatakan bahwa umat non muslimpun tersinggung pula ketika didengungkan bahwa orang kafir tidak layak dipilih sebagai pemimpin.  Pertama karena pemilihan kepala daerah mengacu pada UU Pemilu bukan pada hukum agama. Kedua orang kafir berhak merasa tersinggung karena dianggap tidak layak menjadi pemimpin, padahal bisa jadi mereka juga mempunyai kapabilitas yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan pemimpin muslim.  Jadi prestasi dan pencapaian mereka tidak dihargai semata-mata karena mereka non muslim.

Pertanyaan lanjutan, bolehkah Ulama atau pemimpin agama mengingatkan umatnya untuk mengacu pada kitab suci pada saat memilih pemimpin ? Jawabannya jelas: boleh.... dengan catatan bahwa proses mengingatkan tersebut dilakukan secara terbatas dalam lingkup terbatas umat, bukan dalam kampanye terbuka yang dihadiri oleh berbagai orang yg berasal dari berbagai latar belakang.





Kasihan Rakyat Indonesia

Pada saat Jokowi memenangkan pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2014 lalu, saya melihat kegembiraan meluap-luap hampir di segenap penjuru negeri ini.  Bukan hanya sebuah kemenangan yg ditunggu-tunggu dan diharapkan dengan cemas, tapi terlebih karena adanya harapan akan perubahan keadaan negeri ini, kemana lagi tentu ke arah yang lebih baik.

Apa yg terjadi kemudian adalah antiklimaks.  Perlahan-lahan publik menyadari bahwa apa yang diharapkan dan ditunggu-tunggu itu hanyalah mimpi di siang hari yang terang benderang.  Kebijakan-kebijakan yang diambil presiden Jokowi tidak banyak berbeda dengan pendahulunya. Saya sebut saja beberapa contoh: komitmen terhadap kasus pelanggaran HAM, komitmen atas perang melawan korupsi, kebijakan ekonomi dll.

Salah satu contoh yang nyata adalah kebijakan kerja sama dengan China yang berujung dengan datangnya para pekerja kasar dari China. Jelas itu kebijakan yang mengecewakan dan menyakitkan, di saat lapangan pekerjaan sulit dan tingkat pengangguran tinggi....

Kebijakan membangun kereta cepat Jakarta Bandung (lagi-lagi kerja sama dengan China), silakan Anda menilai sendiri seberapa urgennya membangun kereta cepat Jakarta Bandung. Saya pribadi berpendapat membangun kereta bandara yang sudah direncanakan bertahun-tahun yang lalu, jauh lebih penting untuk didahulukan.  Juga memperluas jaringan KRL commuter yg selama ini melayani jalur Jakarta Bogor dan Jakarta Bekasi, sy yakin itu jauh lebih pentng untuk dikembangkan.

Entah dari mana pak Jokowi punya ide membangun kereta cepat Jakarta Bandung, siapa penggagas ide tersebut ? walahualam....

Tentu ada banyak hal positif juga yg telah dibangun oleh pak Jokowi, misalnya perang menegakkan kedaulatan Indonesia di laut, menangkap pencuri ikan dll.  Tapi selalu saja ada satu dua kebijakan yang terasa janggal dan semakin janggal karena itu menyangkut harkat & martabat rakyat Indonesia.

Contoh lainnya adalah pengangkatan Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi & Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016.  Aneh bin ajaib bahwa seorang dengan status warga negara asing bisa diangkat menjadi menteri, hal itu menunjukkan kecerobohan administratif pemerintah Jokowi.  Lebih aneh lagi bahwa setelah diberhentikan sebagai menteri pada 15 Agustus 2016, Arcandra diangkat lagi kali ini sebagai Wakil Menteri Energi & Sumber Daya Mineral.  Pertanyaan untuk pak Jokowi kenapa begitu ngotot mengangkat Arcandra sebagai pejabat ?  ada apa, apa tidak ada calon potensial yang lain, sedemikian miskinnyakah kita dengan orang-orang yg punya kapabilitas menjadi Menteri ?

Alhasil saya kasihan dengan rakyat Indonesia yang seolah-olah telah "ditipu" atau "tertipu" oleh janji-janji manis dan muluk pada saat kampanye dulu.   Lepas dari mulut buaya, jatuh ke dalam mulut buaya lain (yg lebih kecil).   Nasibmu jadi rakyat.


Wednesday, December 30, 2015

Mari Berpikir Kritis

Salah satu sebab kenapa bangsa Indonesia terpuruk, menurut saya, adalah karena kita malas berpikir, tepatnya berpikir kritis.  Banyak hal atau segala hal (informasi/pendapat/gagasan/ide) diterima begitu saja tanpa dicerna, dipelajari dan dipahami terlebih dahulu.  Kenapa kita harus berpikir kritis ? (nah, kenapa harus berpikir kritispun tetap harus dikritisi juga).

Kita hidup di era informasi, dimana semua orang bisa membuat dan mengirimkan informasi apapun melalui media apapun dan kapanpun.  Kita dibanjiri dengan ratusan bahkan ribuan informasi setiap hari.  Jika tidak kita pilah secara kritis, percaya deh, waktu Anda akan habis dan Anda bisa-bisa justru semakin bodoh.

Masalah yg lebih berat kita hadapi, bhw pihak-pihak yg -secara tradisional- kita anggap sebagai sumber informasi yang baik dan terpercaya, misalnya pemerintah, aparat keamanan atau lembaga agama ternyata tidak lagi merupakan sumber yang layak dipercaya.

Lalu kepada siapa kita harus percaya ? jika bahkan pemerintah dan lembaga agamapun tidak bisa dipercaya. Apakah layak kita percaya pada penilaian kita sendiri ?  (kritisi pendapat sendiri !).  Silakan Anda renungkan.

Di sinilah perlunya kita membangun sikap kritis yang tentu ada dasar berpikirnya, rasional dan logis.  Otomatis Anda juga harus berlatih berpikir logis dan rasional dan untuk itu dibutuhkan pikiran yg terbuka (open minded).  Sebagai contoh jika ada pertentangan antara Sunni dengan Syiah, maka dengan pikiran terbuka Anda harus mempelajari dan memahami apa itu Sunni dan apa itu Syiah, dan tidak cukup hanya Sunni dan Syiah di Indonesia tapi juga di tanah kelahirannya di Timur Tengah, pelajari sejarahnya, pelajari ajarannya, gerakannya, dampaknya dll dan barulah Anda punya cukup dasar logis dan rasional untuk memberikan penilaian.

Berpikir terbuka berarti Anda harus bebas nilai dan tidak boleh memihak pada golongan, suku, agama tertentu. Contoh jika Anda menyaksikan pertentangan antara Ahok dengan Haji Lulung misalnya, jangan karena Anda seorang Betawi Muslim lalu serta merta membela Haji Lulung atau sebaliknya Anda mendukung Ahok hanya karena Anda seorang Kristen.  Secara kritis Anda harus mencari informasi lengkap dan akurat tentang kedua pihak yg bertentangan tersebut, siapa mereka, apa yg mereka lakukan. Dalam hal ini Anda juga harus tetap hati-hati dengan sumber informasi Anda, gunakan sumber informasi yg beragam dari berbagai pihak, gunakan juga sumber informasi alternatif.  Jangan melulu menggunakan data dari Kompas misalnya, lihat juga data dari Harian Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan dll.  Jangan hanya MetroTV, saksikan juga liputan dari TV One, RCTI, SCTV dan lain-lain. 

Setelah tersedia banyak sumber informasi dan sikap kritis serta bebas nilai sdh tertanam dalam benak Anda, berikutnya adalah melatih kemampuan analisa yg kritis, rasional dan logis.  Untuk ini dibutuhkan stamina yg tinggi terutama untuk membaca dan mempelajari banyak sumber informasi dan bacaan, di balik itu terlebih dulu harus ada kerinduan akan kebenaran dan tentu saja rasa ingin tahu yg mendalam.

Selama Anda merasa belum punya cukup informasi untuk membuat analisa yg tepat dan membuat kesimpulan yg akurat, seyogyanya janganlah sekali-sekali menghakimi seseorang atau pihak tertentu. Bahkan sekalipun Anda sdh merasa lengkap dan final dengan penilaian Anda, tetaplah berhati-hati dalam menyampaikan gagasan dan pendapat Anda. Namun setidak-tidaknya Anda sdh punya atau merasa punya cukup pengetahuan dan pemahaman, yang kemudian pasti bisa digunakan untuk hal yg bermanfaat.

Jika kebiasaan berpikir kritis - logis - rasional ini sdh kita bangun dan latih, maka kita akan sangat terbantu dalam melakukan penilaian dan pengambilan keputusan dalam banyak hal, baik dalam hal penting misalnya memilih presiden pada Pemilu, investasi membeli rumah, memilih sekolah untuk anak maupun dalam hal-hal sederhana dalam hidup sehari-hari misalnya bagaimana bergaul dengan tetangga atau membeli buku misalnya.

Kembali ke awal tulisan ini, lalu apa hubungannya bhw sikap malas berpikir kritis telah membuat bangsa ini menjadi terpuruk ?

Ketidakmampuan atau kemalasan bangsa ini berpikir telah membuat kita kehilangan fokus yg sesungguhnya atas suatu masalah.  Dalam kasus Setya Novanto contohnya, publik bersorak-sorak senang ketika melihat Novanto mengundurkan diri, Sudirman Said jadi pahlawan bahkan mendapat penghargaan dari KPK.  Masyarakat yg malas berpikir dan pelupa tidak sadar bhw masalah Freeport jauh lebih besar daripada rekaman pembicaraan Novanto minta saham. Isu sesungguhnya adalah bagaimana rakyat negeri ini bisa menjadi tuan atas emas di Grassberg.    Jika pemerintah cerdas dan berpihak pada rakyat, maka pemerintah harus fokus menghadapi Freeport di arbitrase internasional, strategi apa yg harus disiapkan, argumen apa, data-data dan bukti-bukti apa yg harus disiapkan, dan bukannya membiarkan para mentri sibuk membuat pernyataan sendiri-sendiri yang saling bertentangan.  

Contoh nyata yg lain adalah bahwa karena malas dan tidak mampu berpikir kritis maka masyarakat kita ini sangat mudah dipecah belah dan dibelokkan perhatiannya ke isu pengalih perhatian. Saya amati bahwa masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih intoleran dibandingkan dengan katakanlah 20 tahun yg lalu.  Konflik horisontal dengan mudahnya meletus membuat publik lupa atau teralih perhatiannya dari isu sesungguhnya.  Konflik antar agama antara Sunni dengan Syiah atau Ahmadiyah atau antara Kristen dengan Islam sering terjadi tapi demo anti korupsi misalnya jarang terjadi, bahkan dalam Pemilu Kepala Daerah seorang calon yg jelas-jelas terindikasi korupsi masih bisa terpilih menang.  Publik yg tak mampu berpikir kritis tak mampu mengambil keputusan yg tepat.

bersambung 

Tuesday, December 08, 2015

Freeport, Indonesia dan Dagelan Para Tikus Bodoh












Minggu-minggu terakhir ini publik Indonesia dibuat heboh dengan laporan atau pengaduan Menteri Sudirman Said ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) DPR terkait rekaman pembicaraan antara Setya Novanto (Ketua DPR), Maroef Sjamsoeddin (Direktur Freeport Indonesia) dan  Riza Chalid seorang pengusaha.  Pasalnya dalam rekaman tersebut Novanto dan Chalid mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta sejumlah saham Freeport.

Bagi saya dan mungkin juga bagi Anda dan banyak orang lain, ini adalah dagelan dari sejumlah orang bodoh yang serakah, menjijikkan, tidak peduli pada wibawa dan kedaulatan bangsa dan semata-mata mencari keuntungan untuk diri sendiri. 

Jika Setya Novanto bisa berpikir jernih, bersih dan jujur, maka dia tentu tidak akan mencoba mengambil keuntungan dari situasi kacau ini.  Sebaliknya harusnya Novanto berpikir kritis, apa yang sdh didapatkan oleh Freeport selama ini, apa yang sudah didapatkan oleh rakyat Indonesia, bagaimana kekayaan tambang Grassberg ini bisa lebih besar lagi memberi kontribusi bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ada beberapa hal menarik yang sebetulnya sangat penting menjadi perhatian kita semua (tapi mungkin kita luput melihatnya, karena kita sibuk mengamati dagelan tidak lucu dari Setya Novanto dan Sudirman Said).

1. Freeport secara jelas mengancam Indonesia, jika kontrak tidak diperpanjang akan membawa perkara ini ke arbitrase internasional.
2. Dari rekaman pembicaraan antara Novanto dan Chalid juga jelas disebutkan bhw Jokowi akan jatuh (atau dijatuhkan ?) jika berani menghalangi perpanjangan kontrak Freeport.
3. Sudirman Said sebagai pihak yg mengadukan Setya Novanto ke MKD DPR juga bukan orang bersih, terbukti bahwa Sudirman telah mengirimkan surat ke Freeport yang mengindikasikan dukungan Said ke Freeport, hal yang tdak layak dilakukan oleh pemerintah, yang seharusnya mendahulukan kepentingan rakyat.
4. Jika Jokowi cerdas, beliau harus menertibkan jajaran kabinetnya agar secara tegas dan jelas dengan satu suara membuktikan keberpihakannya kepada rakyat. Jangan sampai di antara jajaran menterinya satu sama lain membuat pernyataan yang saling bertentangan.
5. Jika Jokowi cerdas dan berniat tulus, beliau harus membuat strategi menghadapi Freeport ini, jika kontrak karya tdk diperpanjang, apakah pemerintah Indonesia sdh siap menghadapi tuntutan Freeport di arbitrase internasional ?  Perlu diingat bahwa tidak mustahil selama kerja sama ini Freeport sudah "diperas" oleh pemerintah atau para oknum aparat pemerintah, hal ini bisa menjadi amunisi bagi Freeport untuk memenangkan kasus di arbitrase internasional.

Singkat kata, jelas sekali bahwa pemerintah (Jokowi dan para menterinya) serta DPR dan segala perangkat pendukungnya saat ini sudah salah fokus dan gagal bersikap bijak menghadapi masalah Freeport ini. Bukan hanya Setya Novanto dengan aksinya yang tidak tahu malu tapi Sudirman Said juga telah melakukan hal yang tidak kalah buruknya.   Inilah dagelan para tikus.
  

Wednesday, August 12, 2015

Pemerintah Tanpa Visi (Lagi) soal Otomotif Indonesia

Berbicara soal otomotif di Indonesia, lagi-lagi menyadarkan dan mengingatkan kita bahwa para pemimpin kita tidak punya visi jangka panjang yang terarah dan jelas. 

Masih soal mobil yang pernah saya bahas juga sebelumnya dengan judul Tambah Mobil untuk Jakarta dan Mobil Murah: Kebijakan Aneh dar Pemerintah yang Tak Punya Visi.  

Hari Senin, 10 Agustus 2015 yang lalu diselenggarakan Roundtable Discussion dengan thema : "Menuju Pameran Otomotif Berkelas Dunia", bertempat di Auditorium Gedung Sindo.   Dari membaca thema diskusinya saja sudah bisa disimpulkan bahwa pemerintah kita lagi-lagi tidak cerdas. 

Saya orang yg berpikir sederhana saja, kegiatan yg kita lakukan haruslah yg bisa memberi dampak positif bagi bangsa ini, bisa memakmurkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.  

Nah, sekarang pertanyaannya apa keuntungannya Pameran otomotif berkelas dunia bagi rakyat Indonesia.   Bagi saya rakyat kecil yg berpikir sederhana ini, kita hanya dijadikan sebagai pasar bagi perusahaan-perusahaan otomotif dunia, sebagai pembeli, sebagai pengguna. Sementara kita sendiri hingga saat ini tidak mampu memproduksi sendiri mobil nasional (bandingkan dengan Malaysia yg punya Proton). 

Semakin banyak mobil diproduksi dan dibeli rakyat Indonesia, semakin tinggi pendapatan perusahaan mobil (asing), semakin banyak mobil di Indonesia, konsumsi BBM semakin tinggi, subsidi BBM semakin tinggi, polusi semakin tinggi dan rakyat tidak menjadi lebih sejahtera, industri otomotif lokal tetap tidak berkembang.     

Jika pemerintah cerdas dan punya visi, Saleh Husein tidak bicara tentang pameran mobil kelas dunia, tapi bicara tentang bagaimana roadmap pengembangan mobil nasional, bagaimana kita bangga dengan brand mobil kita sendiri dan bagaimana caranya mobil tersebut bisa diekspor ke negara-negara lain dan memberi devisa bagi negara ini. Sayang sekali itu semua masih sebatas mimpi. 

Sunday, July 19, 2015

Akun Twitter Peduli Indonesia


Anda semua yg berkenan mengunjungi blog sederhana ini, diundang juga untuk follow akun Twitter Peduli Indonesia dengan alamat @HermantoIriawan.

Akun ini sebetulnya sudah dibuat sejak Juni 2012 namun karena berbagai kondisi & pertimbangan, baru bisa (dan akan) dioptimalkan saat ini. Mudah-mudahan bisa menjadi media komunikasi yang efektif bagi kita semua yang peduli dengan negara ini.

"Tinggal di Negeri Ini, Menakutkan"

Dalam sebuah wawancara imaginer, saya membayangkan dialog berikut:

orang 1: "Semakin lama semakin menakutkan tinggal di Indonesia ini...."
orang 2: "Memangnya kenapa ?"

orang 1: "Semakin hari, semakin saya lihat ketidakpastian hukum di negara ini. Bayangkan seorang nenek janda tua, dihukum karena dituduh mencuri kayu, maling sandal dipukuli dan dibui sementara koruptor Milyaran Rupiah bebas.  Napi narkoba masih bisa mengendalikan bisnis haramnya dari penjara, dan mungkin masih ada ribuan contoh lain yg memperlihatkan hukum mandul di republik ini" 
orang 2: "Lanjutkan Bung"

orang 1: "Hakim Sarpin menggunakan logika yg tak masuk akal dalam mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan (calon Kapolri waktu itu).  Kemudian dua orang pimpinan Komisi Yudisial yg menyampaikan kritik atas hal itu dijadikan tersangka, apakah tidak gila itu...."
orang 2: "Betul, saya setuju..."


orang 1: "Masih banyak contoh lain, silakan saja Anda baca koran, sembarang koran dari sembarang waktu, dengan mudah Anda akan menemukan"
orang 2: "Betul, setuju saya, bagaimana kita bisa merasa aman kalau tidak ada kepastian hukum, sewaktu-waktu kita bisa ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka...."

orang 1: "Terkait kasus Sarpin dan praperadilan Budi Gunawan, masih banyak korban lain, silakan lihat gambar dari Twitter berikut ini"

orang 2 : "Ada apa sebetulnya, dahsyat sekali pembelaan terhadap Budi Gunawan ini, padahal terbukti kemudian Komisi Yudisial menetapkan Hakim Sarpin bersalah"

orang 1: "Dalam kondisi seperti ini, bagaimana negara kita mau maju, bagaimana kita mau memerangi korupsi, korupsi yg membuat kita menjadi miskin dan bodoh....."

 

Friday, July 17, 2015

Selamat Idul Fitri 1436H, Mohon Maaf Lahir & Batin

Selamat Idul Fitri 1436, Mohon Maaf Lahir & Batin bagi Anda yg berkenan mengunjungi blog kecil ini.

Mudah-mudahan Idul Fitri ini bisa menjadi momen untuk berdamai bagi kita semua, di antara umat Islam & di antara umat berbagai agama di Indonesia. Bagi pemerintah semoga bisa menjadi momen untuk menyadari (kembali) bahwa masih banyak pekerjaan rumah yg belum selesai, termasuk di antaranya kegagalan menyediakan transportasi yg nyaman bagi para pemudik dan lebih utama lagi kegagalan dalam melakukan pemerataan pembangunan hingga ke desa-desa, sebab jutaan orang yg mudik sebetulnya adalah potret tidak adanya pekerjaan di daerah, sehingga penduduk terpaksa mencari nafkah ke kota besar.


(foto dari Harian Kompas, 16 Juli 2015, para pemudik bermotor yg menunggu giliran masuk kapal penyeberangan di Pelabuhan Merak, Banten).

Semoga Idul Fitri ini juga menjadi momen untuk mengingatkan kita kembali untuk selalu bersyukur, sabar dan tetap mengendalikan diri terutama menghadapi situasi di Indonesia yg serba tak menentu, pemerintah yang tak peduli, aparat keamanan yg korup, anggota dewan yg tamak dan tak tahu malu, justru dalam kondisi serba buruk seperti itu kita diundang untuk tetap sabar dan kritis serta mengedepankan akal sehat dan logika dalam melakukan perlawanan.

Selamat Idul Fitri 1436H, Mohon Maaf Lahir & Batin.

Friday, July 10, 2015

Bahasa menunjukkan Bangsa

Tepat sekali peribahasa di atas: "Bahasa menunjukkan Bangsa".  Tabiat seseorang akan terlihat dari tutur katanya.  Tutur kata yang kasar menunjukkan bahwa si pengucap atau penutur tersebut kasar wataknya.   Bahasa yang kacau logika atau strukturnya menunjukkan bahwa si pengucap adalah seorang yg malas, malas untuk berpikir kritis dan malas untuk belajar berbahasa secara baik dan benar.

Saya merasakan dalam hidup sehari-hari bahwa penggunaan atau pengucapan bahasa Indonesia kita semakin lama semakin kacau, terutama dalam bahasa tertulis, baik itu berita di media cetak atau sekedar pengumuman yg ditempel di dinding rumah.  Apa yang saya maksud masih sebatas pada hal-hal yang mendasar seperti penggunaan awalan dan akhiran, penulisan kata depan, penggunaan tanda baca dan sebagainya, sy tidak berbicara aspek yang lebih canggih (yang biasa dibahas di kolom bahasa di banyak majalah).

Penggunaan bahasa yang kacau menunjukkan -sekali lagi- kemalasan untuk berpikir dan belajar berbahasa secara baik, juga kemalasan untuk berpikir kritis dan logis, sebab bahasa yang kacau secara langsung akan memperlihatkan kekacauan berpikir karena tidak mau atau tidak mampu mengikuti kaidah-kaidah yg benar dalam berbahas.

Untuk jelasnya saya akan berikan beberapa contoh sederhana yang saya ambil dari beberapa sumber, sebagian dari web dan sebagian lainnya saya potret dari papan pengumuman, brosur dan sebagainya.

contoh pertama saya ambil dari sebuah pengumuman di kamar mandi sebuah hotel, tertulis sbb: "Di Mohon Pembalut Tidak Di Buang ke Dalam Toilet Bowl Mengakibatkan Mampet Terima Kasih"

Ini contoh yg sangat sederhana, perhatikan ada dua sukkiu kata "di" yang dalam hal ini berfungsi sebagai awalan, sehingga penulisannya harus disambung, sedangkan suku kata "ke" adalah kata depan sehingga ditulis terpisah, dengan demikian kalimat seharusnya adalah "Dimohon pembalut tidak dibuang ke dalam toilet bowl, mengakibatkan macet, terima kasih"

Atau lebih baik lagi ditulis demikian:" Dimohon untuk tidak membuang pembalut ke dalam toilet bowl, mengakibatkan mampet, terima kasih": .

 Contoh kedua saya ambil dari sebuah website, tertulis Video, Pelukan Singa Betina Kepada Majikannya"

Sungguh saya tidak mengerti kenapa penulis menggunakan kata "kepada", tentu akan jauh lebih enak didengar (dan benar dari sudut tata bahasa) jika digunakan kata "dengan" sehingga kalimatnya menjadi 'Video Pelukan Singa dengan Majikannya"



Apakah Anda bisa menemukan bagian kalimat mana yg janggal ?   ".....beliau menjawab: "bila ia mengira kalau dirinya itu orang yang baik akhlaknya"

Kata "bila" dan "kalau" digunakan dalam kondisi pengandaian atau berandai-andai, dalam kalimat di atas keadaan pengandaian tersebut sudah ditegaskan dengan kata "bila" yang pertama, bagian berikutnya berfungsi menegaskan kondisi yang diandaikan tersebut, sehingga tidak tepat menggunakan kata "kalau", lebih tepat digunakan kata "bahwa" sehingga kalimatnya menjadi "beliau menjawab: "bila ia mengira bahwa dirinya itu orang yang baik akhlaknya""

Dapatkah Anda merasakan perbedaannya ?

Kesalahan berikut yang sering terjadi adalah penggunaan kata yang tidak perlu atau berlebihan. Berikut ini contohnya:

Bahaya adalah kata sifat, sedangkan kata kebakaran menerangkan terjadinya suatu peristiwa, dalam hal ini kata "bahaya" tidak diperlukan sebab kata "kebakaran" saja sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi, lagi pula kita semua sudah tahu bahwa peristiwa kebakaran adalah sesuatu yang berbahaya toh ?   Dengan demikian kalimat yang lebih tepat adalah" "Jangan menggunakan lift jika terjadi kebakaran, gunakan tangga darurat"



Contoh berikut ini sama parahnya dg yg terdahulu, lepas dari siapapun yg mengucapkan kalimat tersebut, jelas kalimat yang salah menurut tatabahasa Indonesia. Loyalitas adalah kata benda tapi dalam kalimat ini difungsikan sebagai kata kerja membuat struktur kalimatnya menjadi rusak, penggunaan dua kata kepada juga tidak tepat.  Kalimat yg benar adalah "Tidak ada gunanya kita loyal pada partai kalau kita tidak berguna bagi rakyat".

Thursday, July 02, 2015

Benahi Alutsista dengan Apa Pak ?


Jatuhnya pesawat Hercules TNI AU di Medan pada hari Selasa, 30 Juni 2015 lalu tentu menyedihkan kita semua. Prihatin bahwa TNI AU masih mengoperasikan pesawat yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Harian Kompas edisi Kamis, 2 Juli 2015 muncul dengan berita utama: presiden menginstruksikan pembenahan alutsista (alat utama sistem senjata TNI.  Siapapun yang bisa berpikir jernih dan waras tentu sependapat dengan pernyataan atau instruksi presiden ini. TNI harus melakukan pembenahan, peremajaan dan pemutakhiran persenjataannya.  Siapapun, bahkan anak SMP sekalipun saya kira berpendapat sama.

Menurut saya, masalah utamanya bukan di situ.    Jatuhnya Hercules ini hanyalah salah satu puncak gunung es yang tampak di atas muka laut (masalah yg lebih besar tidak tampak karena tersembunyi di bawah permukaan).   Sekali lagi siapapun yang bisa berpikir jernih (dan waras) tahu bahwa peremajaan harus dilakukan. Masalahnya dengan apa peremajaan itu akan dilakukan ?   Tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk melakukan peremajaan atas persenjataan TNI.

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah kita punya dana cukup untuk melakukan peremajaan senjata tersebut.  Dana cukup hanya bisa kita miliki jika ekonomi kita kuat.  Ekonomi yang kuat hanya bisa dicapai jika:
- perekonomian dikelola oleh team yg kompeten, cerdas, bersih dan jujur
- tidak ada korupsi
- iklim usaha yang kondusif
- ada kepastian hukum
dan sederet persyaratan lain yang dibutuhkan untuk mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan yang sehat, yang bukan berbasis korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sekarang silakan Bapak Presiden melakukan introspeksi diri, apakah persyaratan-persyaratan yg disebutkan di atas sudah dipenuhi ?   sudahkah presiden memilih menteri dan team yang sungguh-sungguh berkompeten, cerdas, bersih dan jujur (dan bukannya dikendalikan oleh kepentingan partai yang mendesakkan kader-kadernya diangkat jadi menteri).   Berikutnya adalah seperti apa komitmen presiden dalam memberantas korupsi, korupsi yang menggerogoti keuangan negara kita, membuat rakyat semakin miskin dan semakin bodoh.  

Silakan Bapak Presiden menilai sendiri bagaimana pemerintah (presiden dan para menteri) telah bersikap terhadap KPK selama ini.  

Silakan ambil cermin besar dan berkacalah.....   Kemudian jawablah pertanyaan itu, pembenahan alutsista harus dilakukan dengan apa ?
 


Wednesday, April 15, 2015

Logika Bengkok Seorang Dirjen



Freddy Budiman, seorang terpidana mati yg di Lapas Nusa Kambangan malah hidup nyaman seperti di hotel dengan berbagai fasilitas seperti TV dan handphone, bahkan masih bisa mengendalikan bisnis narkobanya dari penjara.

Kasus ini jelas mengusik rasa keadilan kita. Pemerintah (jika masih bisa berpikir jernih dan logis) seharusnya tidak hanya malu tapi juga menganggap ini masalah serius yg harus disikapi dengan tegas.













Yang aneh adalah pernyataan dari  Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum & HAM, Handoyo Sudrajat (dikutip dari Harian Indopos, Rabu 15 April 2015).  Sudrajat menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan "dampak dari tidak seimbangnya jumlah tahanan dan sipir.  sesuai data Ditjen Pemasyarakatan, jumlah sipir di Indonesia saat ini ada sekitar 14 ribu orang. Jumlah itu lebih kecil 10 kali lipat jika dibandingkan dengan tahanan yg mencapai 165 ribu orang"

Siapapun Anda yg waras dan bisa berpikir, silakan menilai sendiri seperti apa kualitas seorang Dirjen Pemasyarakatan tersebut. Bukannya malu dan bertekad keras untuk melakukan perbaikan, malahan menyalahkan kondisi perbandingan jumlah sipir dengan tahanan, sesuatu yg sama sekali tidak relevan.

Seorang narapidana bisa mendapatkan fasilitas luar biasa tersebut, tentu disebabkan karena adanya kolusi dengan sipir atau kepala penjara, dan bukan karena perbandingan tidak seimbang antara jumlah sipir dan jumlah tahanan.

Aneh bin ajaib di negeri mimpi.

Sunday, April 12, 2015

Mengapa (bergabung dengan) ISIS ?













Bahwa ISIS adalah organisasi teror itu saya kira sudah jelas. Tapi apa sebetulnya ISIS, atau bagaimana terbentuknya lalu kenapa ada begitu banyak orang dari seluruh dunia tertarik bergabung dengan ISIS adalah pertanyaan-pertanyaan yg perlu kita cari jawabnya.

Siapapun Anda saya kira layak berpikir kritis tentang isue ini.  Karena ISIS bukan hanya masalah di Siria dan Irak, tapi sudah menjadi masalah bagi seluruh dunia termasuk tentunya Indonesia.

Buku "ISIS, Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini" tulisan Muhammad Haidar Assad, dari Penerbit Zahira, 2014 secara cukup lengkap menggambarkan apa itu ISIS, bagaimana proses terbentuknya dan sepak terjangnya.  

Membaca buku ini ada satu fakta menarik yg bisa sy simpulkan, bahwa proses kelahiran ISIS tidak bisa dilepaskan dari petualangan Amerika Serikat di Timur Tengah. Tapi yang terutama bukan itu, kelahiran ISIS harus diakui bisa muncul antara lain karena pertentangan atau permusuhan antara kelompok Sunni dengan Syiah.  Karena masing-masing kelompok merasa dirinya benar dan kemudian dibuat semakin rumit dengan kepentingan-kepentingan politik masing-masing pihak.

Bagi kita di Indonesia seharusnya ini bisa menjadi pelajaran yg sangat berharga, bahwa seharusnya sesama umat muslim jangan saling bertentangan satu sama lain, karena masing-masing pihak merasa dirinya benar.  Bahkan mengkafirkan pihak non muslim saja tidak layak dilakukan, apalagi sesama umat muslim seharusnya bersaudara dan bekerja sama.

Meski demikian saya punya kritik juga atas buku ini. Di bagian pengantar dituliskan demikian:
- Siapakah anak-anak wayang itu ? Muslimin
- Siapakah dalangnya ? Non Muslim
- Siapakah asisten-asisten dalang itu ? Pemimpin Muslim yang berteman dengan kaum Zionis.

Mengatakan bahwa dalangnya adalah Non Muslim saya kira kurang tepat.  Karena secara global, dunia ini sebetulnya dikendalikan oleh korporasi-korporasi besar dimana di dalamnya ada kaum Muslim juga, Selain itu menyebutkan Non Muslim sebagai dalang berpotensi membuat masalah ini menjadi pertentangan antara Muslim dengan Non Muslim.  Saya kira lebih tepat kalau dikatakan dalangnya adalah Barat (atau Kapitalis Barat) dimana didalamnya ada beragam kelompok orang termasuk Non Muslim, Yahudi dan Muslim sendiri.

Kembali pada konteks kita di Indonesia, siapapun Anda harusnya berpikir kritis atas masalah ini. Terutama tentu pemerintah dan para pemuka agama harus berupaya untuk membuka mata masyarakat akan apa itu ISIS dan betapa sesatnya kelompok ini.

Dan satu catatan penting bahwa kita tidak perlu mempertentangkan adanya kelompok-kelompok aliran dalam Islam, apalagi mengkafirkan kelompok lain, semakin kita mempertentangkan itu semakin kita mudah dipecah belah. 



Monday, February 16, 2015

Negara Paling Korup di Dunia

Adalah sebuah kisah tentang sebuah negara yg amat sangat indah dan kaya.  Alam pemandangannya indah, bertabur ribuan pulau, gunung-gunung dan danau-danau serta ribuan sungai.  Tidak hanya indah alamnya, hutan hujan tropis yg lebat juga dihuni beraneka ragam satwa liar dan langka. Selain itu perut buminya mengandung emas, besi, perak dan tembaga, tak terhitung banyaknya bahan tambang dan mineral yg jika dikelola dengan baik tentu akan membuat rakyat negeri ini hidup sejahtera, aman tenteram dan makmur.

Sayang beribu sayang, sebagian rakyat dan para pemimpin negeri ini adalah orang-orang yang serakah dan tamak. Tidak pernah terpikir oleh mereka untuk mensejahterakan rakyat bangsa, sebaliknya mereka berlomba-lomba memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Singkat cerita negara ini akhirnya menjadi negara paling korup di dunia.

di mana koruptor bebas berkeliaran
di mana koruptor yg sudah tertangkap dan dihukum, mendapat kemudahan dan remisi hukuman
di mana seorang koruptor bisa menjadi kepala polisi
di mana bahkan presiden, wakil rakyat, para pejabat dan para penegak hukum semuanya mendukung korupsi
di mana para petugas anti korupsi dan keluarnganya diancam dibunuh

di mana korupsi tidak menjadi perbuatan tercela dan memalukan
di mana anak muda dengan bangga memamerkan kekayaan orang tuanya yg didapat dari korupsi


Thursday, January 22, 2015

Halo Polisi "Gendut" (2)

Masih terkait pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Kompas edisi hari ini Kamis, 22 Januari 2015 memuat pernyataan Dai Bahtiar mantan Kapolri, bahwa sebaiknya Polri tidak bersikap konfrontatif ke KPK. Lengkapnya saya kutip sbb: "Polri harus merangkul KPK, merangkul Kejaksaan Agung. Dulu memang pernah ada konflik antara Polri dan KPK, yg sering disebut sebagai 'cicak vs buaya'. Tinggalkan itu, lupakan itu. Sesama penegak hukum harus saling menghormati dan saling bekerja profesional, baik itu Polri, Kejaksaan Agung dan tentunya KPK"

Menurut saya tidak ada yg baru dari pernyataan Dai Bahtiar, tidak ada yg istimewa, tidak menggigit dan tidak banyak manfaatnya.  Menurut saya kerja sama Polri dengan KPK itu mudah saja dilaksanakan sejauh Polri punya tekad yg sama memberantas korupsi.

Jenderal Dai Bahtiar harus ingat perseteruan 'cicak vs buaya' dulu yg memulai juga bukan KPK, tapi Polri. Saat itu Jenderal Susno Duadji yg merasa terusik dengan langkah-langkah yg dilakukan KPK, sampai melontarkan istilah 'cicak vs buaya'.   Berikutnya kasus penyidik KPK yg berasal dari Polri lalu ada pendudukan kantor KPK oleh Polri, semua "perseteruan" atau "perselisihan" antara KPK dengan Polri bukan KPK yg memulai.

Di lain pihak, ada banyak hal yg sebetulnya bisa dilakukan oleh Polri, kalau, sekali lagi kalau Polri serius dalam memberantas korupsi.

Yang pertama-tama dan paling penting adalah bagaimana Polri menindaklanjuti masalah "rekening gendut" yg dimiliki para petinggi Polri.  Semua Jenderal pemilik rekening gendut harus bisa menjelaskan dari mana kekayaan tersebut mereka dapatkan.  Termasuk juga menjelaskan banyak kejanggalan yg lain (misalnya kasus Labora Sitorus, bintara polisi di Papua yg memiliki dana sebesar Rp 1,5 Trilyun di rekeningnya).  Itu harus dijelaskan secara terbuka dan transparan ke publik.

Polri harus membuktikan itikad baiknya memberantas korupsi, dengan pertama-tama membersihkan dirinya sendiri, memberantas korupsi di internal Polri.  Seandainya soal rekening gendut ini bisa di-clear-kan, Saya yakin itu merupakan langkah awal yg sangat berarti.

Jika Polri bersih dan punya tekad memberantas korupsi saya yakin kerja sama dengan KPK dan Kejaksaan Agung adalah hal yg mudah sekali dilakukan. 


Cuplikan berita di Harian Kompas, 21 Januari 2015. Labora Sitorus belum juga ditahan padahal vonis dari Mahkamah Agung sudah dijatuhkan sejak September 2014.

Halooooo Polisi, mana bukti keseriusan Anda memberantas korupsi ?
mulailah dari diri Anda sendiri dulu.
   .  

Monday, January 19, 2015

Halo Polisi "Gendut"

Posting ini saya buat sebagai tanggapan atas pencalonan Komisari Jenderal Budi Gunawan sebagai KAPOLRI oleh Presiden Joko Widodo.

Bagi Anda para polisi, khususnya Anda yg memiliki rekening "gendut", silakan Anda berkaca dan jujur pada diri sendiri, apakah harta kekayaan Anda diperoleh melalui cara yang sah dan halal, atau sebaliknya ?   Institusi Anda boleh saja menyatakan Anda bersih, tapi apakah betul Anda bersih ?, tidak usah dijawab, silakan jujur pada diri Anda sendiri.

Apakah masuk akal, jika seorang Jenderal polisi memiliki kekayaan hingga puluhan bahkan ratusan milyar.  Berapa gaji seorang Jenderal Polisi, seandainya separuh saja gaji Anda ditabung, apakah akan terkumpul kekayaan sebesar ratusan Milyar dalam sekian tahun ?   Jika Anda berbisnis, bisnis apa yg Anda jalankan, dari mana modal Anda, beranikah Anda secara terbuka melaporkan perkembangan bisnis Anda sejak mulai dirintis hingga saat ini.

Kasus Labora Sitorus, seorang bintara polisi dari Papua lebih luar biasa lagi, bayangkan seorang polisi berpangkat AIPTU (Ajun Inspektur Polisi Satu) atau setara dengan Pembantu Letnan Satu di TNI AD memiliki simpanan senilai Rp 1,5 Trilyun di rekeningnya. Darimana kekayaan sebesar itu ? mustahil bahwa pimpinan atau komandan tidak tahu kegiatan apa yg dilakukan oleh bawahannya, apalagi hingga menghasilkan uang dalam jumlah sebanyak itu.

Saya tidak ingin menghakimi, silakan saja proses hukum berjalan, silakan Anda membela diri, tapi apapun hasil dari proses hukum yg berjalan, saya hanya ingin mengetuk pintu hati Anda, jujurlah pada diri Anda sendiri. Masyarakat mungkin bisa dibohongi, hukum mungkin bisa diatur, jaksa dan hakim bisa Anda bayar, tapi Anda tidak bisa membohongi diri sendiri.

Bayangkanlah Saudara-saudara kita yg hidupnya berkesusahan, anak-anak yg tidak dapat bersekolah, bayi-bayi yang tidak mendapatkan gizi, bapak dan ibu yang bekerja keras membanting tulang seharian untuk menyambung hidup.  Sementara Anda mempunyai kekayaan berlimpah yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya. Hidup Anda nyaman di rumah yg megah, dan hebatnya lagi Institusi Anda menyatakan bahwa Anda bersih.

 Seorang buta penjual kerupuk, saya ambil gambarnya pada saat sedang melayani pembeli. (lokasi Jl Barkah, Jakarta Selatan, Oktober 2014)
   


Friday, January 16, 2015

Beriman Secara Cerdas

Saya merasa - entah benar, entah tidak -  bahwa semakin lama kehidupan beragama dan/atau toleransi beragama kita di Indonesia mengalami kemunduran.  Setidaknya itu yg saya rasakan, kalau saya bandingkan dengan keadaan waktu saya kecil (SMP - SMA) atau waktu kuliah dulu (beberapa belas tahun yang lalu).

Sepertinya masyarakat semakin terkotak-kotak, dan salah satu kotaknya adalah agama.  Terasa kental sekali pada saat pemilihan presiden kemarin, isu agama menjadi salah satu senjata untuk menjatuhkan lawan.  Hal serupa juga terjadi pada saat pemilihan gubernur DKI tahun 2007, terasa kuat sekali isu agama digunakan.  Sekarangpun sekelompok anggota masyarakat berusaha "menjatuhkan" Ahok, gubernur DKI dengan isu agama.

Kalau boleh saya berpendapat (mohon maaf jika terdengar kasar), bangsa kita tidak cerdas, malas berpikir, malas berpikir membuat kita menjadi bodoh, hilang sikap kritis, akhirnya mudah dihasut dan percaya begitu saja pada pandangan orang lain, meskipun argumennya lemah.

Sekali lagi menurut saya seharusnya kita beriman secara cerdas, apapun agama yg kita anut.  Cerdas dalam arti secara kritis memahami perintah agama berikut konteksnya.  Sekali lagi konteksnya.  Saya percaya bahwa apapun yg diperintahkan oleh agama (agama apapun), ada latar belakangnya ada konteksnya.  Menjadi kewajiban kita untuk mencari tahu konteks perintah tersebut.

Saya ingin memberi beberapa contoh, Islam mengijinkan poligami sampai maksimum 4 istri.  Dalam konteks apa poligami ini diijinkan ?  Tentu bukan untuk menuruti hawa nafsu, bisa menikahi banyak perempuan muda dan cantik.  Nabi sendiri adalah pelaku poligami tapi dalam kondisi apa, itu yg perlu kita pahami.

Contoh lain misalnya, ada hadits yang berbicara tentang jangan memilih pemimpin non muslim. Ini juga harus kita pahami konteksnya.  Dalam kasus ada banyak calon pemimpin muslim yg baik, saleh dan berkualitas, tentu lebih baik kita memilih pemimpin muslim.  Tapi dalam kondisi misalnya hanya ada dua calon: yg satu muslim tapi koruptor dan gemar "bermain perempuan" sementara satu lagi adalah non muslim tapi jujur, bersih dan berkompeten. Mana yg akan kita pilih ?

Dalam agama lain hal yg sama saya kira terjadi juga. Kristen misalnya tidak mengijinkan perceraian. Nah kalau misalnya suami Anda adalah seorang pemabuk, penjudi sekaligus penggangguran tak bertanggung-jawab, apakah Anda tetap akan mempertahankan perkawinan Anda.  Apakah mau menunggu sampai suami Anda bertobat ?

Contoh lain, saya ingin mengutip pernyataan Ustad Felix Siauw (saya ambil dari Twitter) sbb: "...membela nasionalisme gak ada dalilnya, gak ada panduannya, membela Islam jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya..."  Membaca pernyataan seperti ini, kita harus kritis, meskipun diucapkan oleh seorang ustadz, apakah pernyataan itu bisa diterima, apakah masuk akal, apa dasarnya, dalam konteks apa, apakah ada konteks dimana pernyataan tersebut sahih ?   Sebagai pembanding, untuk memanfaatkan dan mengembangkan nalar yg kita miliki, silakan cek ulasan dari Warung Nalar.

Kejanggalan yg mirip terjadi juga di kalangan Kristen. Baca twit dari Pendeta Gilbert Lumoindong "Yoga bukanlah olah raga, yoga adalah penyembahan, anak-anak Tuhan hindarilah yoga, untuk tenang cukup berdoa, bukan dengan Yoga, TUHAN CUKUP.." saya tidak ingin berkomentar soal ini, silakan Anda gunakan nalar untuk menilai apa yang dikatakan oleh Gilbert.

Berikutnya ada sebuah blog yg memuat antara lain "Jual Beli yg Dilarang dalam Islam", perhatikan butir ke-3, saya kutip sbb: Di antara jual beli yang dilarang ialah, menjual berbagai macam alat musik.
Seperti seruling, kecapi, perangkat-perangkat musik dan semua alat-alat yang dipergunakan untuk perbuatan sia-sia. Meskipun alat-alat itu diberi istilah lain, seperti alat-alat kesenian. Maka haram bagi kaum muslim untuk menjual semua alat dan perangkat-perangkat itu. Seharusnya alat-alat tersebut dimusnahkan dari negeri kaum muslimin agar tidak tersisa. 


Silakan Anda mencerna dengan logika dan nalar Anda, kutipan blog di atas. Kenapa alat musik dikatakan haram, apa dasarnya.....

Diskusi ini bisa dilanjutkan hingga ke mungkin puluhan atau ratusan contoh lainnya. Dan semuanya adalah hal yg nyata kita alami dalam hidup sehari-hari.

Sekali lagi saya ingin mengajak kita semua untuk bersikap kritis, Allah menganugerahi kita otak untuk berpikir, gunakanlah itu.   Sayang sekali kita punya otak kalau tidak digunakan.

Kalau kita mampu berpikir kritis, meletakkan segala hal pada tempat dan konteksnya, maka kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya tidak ada masalah.  Karena apa yang diajarkan oleh agama itu pasti baik, hanya kita saja yang salah menafsirkan.

Mari kita beriman secara cerdas, mudah-mudahan bangsa ini bisa menjadi maju, adil dan makmur. 

Monday, January 12, 2015

Chalie Hebdo, ISIS dan FPI


Seminggu terakhir ini, dunia dikejutkan dengan peristiwa penembakan terhadap jajaran redaksi Charlie Hebdo di kantor mereka di Paris, yang menewaskan 12 orang termasuk seorang muslim polisi Perancis, serta melukai 10 orang lainnya. 

Saya tidak ingin membahas peristiwa penembakan tersebut, yang saya ingin bahas adalah reaksi publik atas peristiwa tersebut.  (serta bagaimana menurut saya seharusnya kita bereaksi).

Pertama-tama kita perlu membayangkan seperti apa kira-kira jajaran redaksi atau para pengelola majalah Charlie Hebdo ini.  Dari cara mereka menghina agama (tidak hanya agama Islam tapi juga Kristen dan Katolik, jelas sekali bahwa mereka atheis.  Melalui berbagai kartun dan gambar itulah mereka mengejek  kaum beragama (apapun agamanya).

Berhadapan dengan kaum atheis, kita yg (mengaku) beriman dan beragama ini harusnya mengalah.  Pada saat kaum atheis mengolok-olok Nabi (secara tidak langsung juga mengolok-olok Allah), pada saat itulah mereka memamerkan kegilaan mereka, kegilaan dan kebodohan karena mereka menolak menyadari bahwa kita manusia adalah ciptaan Allah, menolak mengakui adanya Allah Sang Maha Pencipta.

Di titik inilah saya berpandangan bahwa apa yg dilakukan oleh Charlie Hebdo itu tak perlu ditanggapi oleh semua mereka yg beriman.   Ibarat seorang anak balita yg melemparkan kerikil ke orang dewasa.

Di lain pihak, pada saat yg sama kita juga melihat gerakan-gerakan ekstrim yang mengatas namakan agama, contoh yang paling jelas saat ini adalah gerakan ISIS di Irak & Suriah.

Apa yang dilakukan oleh ISIS jelas jauh lebih berbahaya daripada Charlie Hebdo.

Pertama: Charlie Hebdo tidak pernah membunuh, kejahatan mereka adalah menistakan agama dan/atau nabi dan/atau Allah.  Kejahatan Charlie Hebdo sebatas melalui kertas, pena dan tinta bukan senjata dan pedang. Bandingkan dengan ISIS, kelompok ini sudah membunuh lebih dari 2.000 orang baik itu Kristen maupun Islam sendiri, termasuk anggota mereka yg hendak keluar dari kelompok.

Kedua, pada saat melakukan kejahatannya, Charlie Hebdo tidak pernah menyerukan nama Allah atau
mengatasnamakan agama.  Bandingkan dengan ISIS, jelas-jelas mereka menyebutkan Islam dan menggunakan simbol-simbol Islam.

Ketiga, apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo sama sekali tidak menyebabkan citra Islam (atau Kristen) menjadi rusak, pada saat membuat dan mempublikasikan gambar-gambar yg menghina nabi, citra nabi tidak menjadi rusak, yg rusak dan tetap rusak adalah Charlie Hebdo sendiri, sebagai kelompok yang tak berakhlak.   Bandingkan dengan ISIS, apa yg dilakukan oleh ISIS jelas mencoreng nama harum Islam sebagai agama yg cinta damai dan kehidupan.

Saya ingin mengajak Anda untuk berpikir jernih, bukan maksud saya untuk membela Charlie Hebdo, biarlah Charlie Hebdo hidup di Perancis, dan tunduk pada hukum Perancis, salah satu negara sekuler (atau atheis ?) di atas muka bumi ini.

Saya ingin mengajak kita semua untuk berpikir jernih, tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi melihat penistaan agama (kalau itu disebut sebagai penistaan), pada saat Charlie Hebdo menistakan nabi, tidakkah mereka sedang menistakan diri mereka sendiri ?.

Lalu apa hubungannya dengan FPI, menurut Anda apakah FPI itu membela Islam atau justru sebaliknya menistakan agama Islam ?

Monday, December 22, 2014

Semoga Damai Natal menyertai Bangsa dan Rakyat Indonesia




Setiap menjelang akhir tahun, selalu ramai diperbincangkan di negara kita soal hukumnya mengucapkan Selamat Natal kepada Saudara-saudara kita umat Kristiani.  Sebagian Ulama membolehkan, sementara sebagian lainnya mengharamkan hal tersebut.

Saya sendiri mengganggap ini adalah salah satu topik perbincangan yang tidak penting dan patut disesalkan (dalam bahasa yg lebih lugas: tidak bermutu).   Kenapa ?

  1. Di kalangan Islam sendiri ada perbedaan penafsiran soal ini. Sebagian Ulama membolehkan, dan sebagian lainnya mengharamkan. 
  2. Perbedaan penafsiran itu sendiri sebetulnya tidak perlu dipertentangkan. Bagi Anda yg menganggap itu haram silakan, bagi Anda yg menganggap hal itu baik, juga silakan.
  3. Apapun pilihan Anda, selayaknya kita tetap menjaga perasaan saudara-saudara Nasrani, tidak usahlah mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal seperti kita melakukan atau tidak melakukannya.  Bahkan memperbincangkan hal ini secara terbuka sebetulnya juga tidak etis. Bayangkan saja misalnya ada satu kelompok orang yg melarang anggotanya untuk berjabat tangan dengan Anda yg Muslim, tidakkah itu menyakitkan.
  4. Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, saya pribadi berpandangan bahwa lebih penting mendahulukan kepentingan negeri ini di atas kepentingan iman yang saya anut.
Selain ucapan selamat natal, kita juga banyak diributkan dengan masalah atribut natal, pemakaian topi natal, mungkin nanti juga ada yg memasalahkan pemasangan pohon natal, mendengarkan lagu natal dsb.  Apakah dengan melakukan hal-hal itu berarti iman Anda sudah goyah. Betapa menyedihkan cara kita berpikir !

Saya sertakan dalam posting ini dua gambar yang sy ambil dari akun Twitter Denny Sakrie, seorang pengamat musik (rupanya masyarakat kta di era tahun 1970an jauh lebih toleran dan lebih rasional dalam berpikir). 


Semoga Allah mengasihani bangsa yang tidak cerdas ini, semoga Damai Natal menyertai Bangsa dan Rakyat Negeri ini. Selamat Natal.

Baca sebagai pembanding:
Ucapan Selamat Natal dari Ketua Umum PB NU
Irfan Hamka: Buya Hamka mengucapkan Selamat Natal...



Tuesday, October 21, 2014

Haramkah Pemimpin Non Muslim ?

Seorang kawan memberi saya sebuah buku yang sangat menarik berjudul: "Pemimpin Non Muslim, siapa pro siapa kontra", karangan Muhsin Labib, Penerbit Alinea Books, Jakarta Oktober 2014.

Lepas dari setuju atau tidak, terbitnya buku ini menurut saya merupakan sumbangan besar bagi Indonesia.   Setidak-tidaknya ada alternatif cara berpikir yg berbeda dengan yang selama ini kita yakini.  Cara berpikir yang berbeda tidak perlu ditolak, sebab justru bisa menguji argumen yg kita gunakan saat ini, apakah memang sahih atau tidak.  Sebaliknya bila cara berpikir baru tersebut ternyata benar dan bisa diterima, selayaknya kita berbesar hati menerimanya.

 Ada beberapa pokok pikiran menarik yang bisa saya ambil dari buku ini.
1. arti dan definisi kafir, saya tidak akan menguraikan gagasan tentang  "kafir" yg dibahas di buku ini, saya sekedar ingin mengajak Anda untuk menelaah kembali arti kata tersebut.
2. bahwa "non muslim" belum tentu kafir, sekali lagi saya tidak akan bahas uraian di buku ini, yang pasti pokok pikiran ini terkait erat dengan arti dan definisi kafir yg perlu dipahami.
3. perlu kita pahami, dalam konteks apa Al Quran melarang Umat Muslim mengangkat seorang non muslim atau kafir menjadi pemimpin. Hal ini saya kira penting sekali, sebab saya percaya bahwa Allah tentu punya maksud dengan perintah-perintahNya, dan menjadi tugas kita untuk secara kritis memahami perintah tersebut.
4. bahwa pemimpin dalam relasi horisontal (hubungan antar manusia dalam hidup bernegara dan bermasyarakat) berbeda dengan pemimpin dalam relasi vertikal (umat Muslim dengan Allah).  Yang pertama mengacu pada konstitusi dan UU, yang kedua mengacu pada hukum Agama (Al Quran).

Selebihnya saya ajak Anda untuk membaca lebih detail buku ini dan menemukan sendiri pokok pemikiran yang baru yang bisa jadi bertolak belakang dengan apa yg saat ini Anda pahami.  

Info dari akun Facebook Pemimpin Non Muslim, buku ini sudah bisa diperoleh di Toko Buku Gramedia di Pondok Gede Mall dan Mega Mall Bekasi, atau secara online di belibuku.