Monday, November 19, 2007

Sarimin, potret buram hukum dan keadilan di Indonesia

Sebetulnya saya bukanlah penggemar theater, tapi beruntunglah saya pada hari Minggu malam, tgl 18 Nopember 07 kemarin seorang teman mengajak saya menonton lakon monolognya Butet berjudul Sarimin di Graha Bhakti Budaya, TIM. Beruntung karena tontonan tersebut lucu menghibur sekaligus mengingatkan saya bahwa masih banyak orang yg peduli terhadap negeri ini. Peduli dengan caranya sendiri, menyampaikan kritik dengan gayanya sendiri....

Singkat kata, lakon ini berkisah tentang hukum dan keadilan di Indonesia yang terbolak-balik, benar jadi salah, salah jadi benar, salah karena benar, karena Sarimin benar maka dia jadi salah sehingga harus masuk bui, untuk meringankan hukumannya, pengacara menganjurkan Sarimin untuk mengaku salah (meski Sarimin tidak bersalah), Sarimin yg lugu (bahkan membaca tulis saja tak bisa), tak dapat memahami logika hukum seperti itu.

Logika aparat hukum (dlm hal ini diwakili polisi dan hakim agung) ya terbolak-balik pula. Pedoman hukum bukanlah keadilan itu sendiri tapi siapa atau apa yang berkuasa.

Bicara tentang hukum dan keadilan, sudah pasti kita akan bicara pula tentang polisi. Polisi yang citranya begitu suram di negeri ini. Lakon ini menampilkan sentilan khusus bagi institusi kepolisian yang sosoknya di satu sisi sangar menakutkan, namun di lain pihak tak ada wibawa, karena dia tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan, tapi pada "kuasa" (baca: uang). Gambar memperlihatkan wajah polisi dalam lakon Sarimin.

Friday, November 16, 2007

Rindu Indonesia...

Saya selalu mencintai Indonesia, betapapun seperti apa negeri ini. Dua kali saya ke Singapura, satu kali ke Bangkok dan satu kali ke Hong Kong, melihat berbagai kemajuan dan kemegahan negara-negara lain (yg masih tetangga kita), saya selalu teringat negeri ini. Pada saat pesawat mendarat kembali di Cengkareng, selalu miris hati saya melihat bagaimana sebuah negara yg begitu kaya akan sumber alam, bisa menjadi begitu miskin, dihimpit hutang, diinjak-injak martabatnya oleh negara lain (yg bahkan lebih kecil dari kita).....

Sementara itu para elite politik tak peduli, tetap saja sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri... Korupsi jalan terus bahkan semakin marak, hukum (keadilan) dijungkirbalikkan.

Tapi bagi saya (dan mudah-mudahan bagi Anda juga) selalu ada dalam hati ini, rindu akan Indonesia, Indonesia yg hutannya rimbun, yg tidak macet kota-kotanya, yang tidak lagi jadi juara korupsi internasional, yang rakyatnya gak mati kelaparan.

Saya tiba-tiba teringat hal ini setelah melihat iklan Garuda Indonesia (yg ditujukan untuk orang Indonesia yg tinggal di LN), tentang bagaimana kerinduan akan Indonesia bisa diobati dengan terbang naik Garuda.

Wednesday, November 07, 2007

Halo Polisi ?

Apa Anda masih ingat iklan rokok menggambarkan seorang anak perempuan bandel yg menerobos lampu merah, lalu ditangkap "polisi" yang menyamar jadi pohon. Ironis memang, tapi begitulah yang terjadi.

Beberapa tahun yg lalu, seorang teman yg tinggal di Cengkareng terbakar rumahnya. Penyebab kebakaran adalah arus pendek listrik pada AC. Yang aneh, pada waktu melapor ke polisi, korban kebakaran ini malah dimintai uang, alhasil teman saya ini harus merogoh koceknya tidak kurang dari enam ratus ribu rupiah.

Banyak kisah yg kita dengar membuat kita kehilangan kepercayaan pada institusi kepolisian, hingga slogannya "melindungi dan melayani" jadi tak berarti sama sekali, yg ada justru kecurigaan.

Baru-baru ada berita menarik di Jakarta Post edisi 3 Nopember 2007, judulnya Tough questions for police in Batam over drug factories. Inti beritanya kira-kira begini: si penulis menyampaikan keheranan bahwa polisi dengan cepat bisa menangkap pengguna beberapa butir pil ecstasy tapi pabrik ecstasy berskala raksasa bisa beroperasi bertahun-tahun tanpa terdeteksi. Di lain pihak rasio jumlah polisi di Batam dibandingkan jumlah penduduknya relatif lebih baik dibandingkan dg daerah lain (di dunia), selain itu pulau Batam juga relatif tidak terlalu luas (hanya 415 km2) sehingga sungguh aneh bahwa aktivitas pabrik ecstasy tidak terdeteksi.

Lebih jauh, Jakarta Post menulis: ...That police failed to spot the presence of an international drug syndicate has resulted in rumors that some officers were on the payroll of the drug ring...

Hal ini tentu saja langsung dibantah oleh pihak kepolisian dlm hal ini BrigJen Indradi Tanos, Direktur Divisi Narkotik.

Mana yg benar, walahualam kita tdk akan pernah tahu, kita berdoa saja supaya polisi Indonesia bisa "membersihkan" dirinya sendiri sebelum melakukan tugas membersihkan orang lain.