Thursday, January 28, 2010

Koruptor itu Kafir

Saya selalu merasa sedih jika masih ada orang Indonesia yg memberi cap "kafir" kepada orang lain. Orang yg menyebut orang lain kafir, tentulah merasa imannya sendiri yang paling benar, paling suci, tidak ada salah. Pada saat yang sama orang tersebut menutup mata terhadap adanya keberagaman, pluralitas.

Tapi saya sangat terkesan dengan ucapan Haidar Bagir di majalah Tempo edisi khusus, Desember 2009: "Koruptor itu Kafir"
Orang berbeda iman dengan kita, bukanlah kafir, tapi dia mengenal Tuhan dengan caranya sendiri, tentu punya alasan dan latar belakangnya sendiri, dia bertanggung-jawab atas keyakinan imannya, dan dia menanggung sendiri akibat dari kepercayaan yg dianutnya itu. Orang berbeda iman dengan kita bisa jadi orang yang baik, pekerja keras yang jujur dan ulet.
Bagaimana dengan koruptor ? Sekalipun dia seorang yang taat beribadah menurut agamanya, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, tapi jika dia koruptor, maka secara praktis dia tidak mengenal Tuhan dan tidak peduli dengan sesamanya. Istilah kerennya atheis praktis, secara legal formal dia beragama, tercatat di KTP dan aktif dalam kegiatan ibadah, sholat, bersembahyang, berpuasa, tapi secara praktis dia tidak peduli dengan itu semua. Pada saat dia korupsi, dia tidak melihat realitas di sekitarnya, orang-orang miskin yg kelaparan, rakyat yg dia ambil haknya, anak-anak terlantar yg seharusnya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dst. dst.

Konspirasi Menghancurkan Antasari - KPK

Saya selalu berkeyakinan bahwa akar dari segala akar keterpurukan negeri ini adalah korupsi. Korupsi yg merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Korupsi yg menyebabkan kita terjebak dalam hutang. Korupsi yang membuat negeri ini semakin hari semakin bodoh dan miskin. Korupsi yang membuat negeri ini lemah dan mandul, kehilangan kehormatannya, dianggap sebelah mata oleh negara lain.

Ironisnya adalah, justru pada saat KPK - lembaga antikorupsi bentukan pemerintah - telah berhasil menunjukkan prestasi luar biasa dalam perang melawan korupsi, justru pemerintah sendiri yg "seakan-akan" berkehendak menghentikan KPK.

Pertama adalah penangkapan Antasari Azhar yg tidak lama kemudian diikuti dengan proses hukum terhadap Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah. Berbeda dengan Bibit dan Chandra yg akhirnya terbebas dari proses pengadilan karena memang terbukti tak bersalah, kasus Antasari terus berlanjut ke pengadilan.

Di sinilah kita bisa melihat - jika Anda cukup jeli - mengikuti proses persidangan Antasari, akan Anda lihat betapa banyaknya kejanggalan dan keanehan. Kejanggalan paling besar saya kira adalah adanya pengakuan dari Komisaris Polisi Wiliardi Wizard, yang mengaku dipaksa oleh Institusi POLRI untuk membuat pengakuan yg menyudutkan Antasari. Kejanggalan besar kedua adalah kesaksian Komisaris Jenderal Susno Duaji (mantan Kabareskrim) yang meringankan Antasari. Kesaksian Susno ini membuat "kegaduhan" di tubuh POLRI, tidak lama kemudian POLRI menarik segala fasilitas jabatan yg masih dipakai Susno seperti mobil dinas, supir dan pengawal. Hebatnya lagi setelah itu Susno menerima ancaman-ancaman yg disampaikan lewat sms dan telepon.

Tentu jadi tanda tanya bagi kita semua, apakah betul bahwa pimpinan POLRI merasa gerah dan terganggu dengan kesaksian Susno ? Apakah ada hubungan antara kesaksian Susno (yang meringankan Antasari) dengan tindakan POLRI menarik mobil dinas, supir dan pengawalnya ? Apakah ada kaitan antara kesaksian Susno dengan ancaman yg diterimanya pertelepon dan sms ? Apakah pihak yg tidak suka dengan Susno itulah yg mengirimkan ancaman ? Siapakah di negeri ini yang berani mengancam seorang Jenderal Polisi berbintang tiga ?

Kejanggalan besar yang terakhir adalah tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh Jaksa. Bagaimana mungkin dengan kejanggalan-kejanggalan fakta yg jelas sekali terungkap di pengadilan, jaksa tetap bersikukuh bahwa Antasari bersalah dan layak dihukum mati ?

Monday, January 04, 2010

Selamat Jalan Gus Dur

Menjelang pergantian tahun 2009 – 2010 banyak isu menarik yg muncul, yg terbesar mungkin adalah kasus Bank Century, lalu kontroversi buku karangan George Junus Aditjondro yg berjudul Gurita Cikeas. Tapi semua isu tadi seolah lenyap tak berbekas setelah wafatnya mantan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur adalah sosok kontroversial yang kerapkali berseberangan paham dengan apa yg dianut oleh kebanyakan orang. Pada saat banyak orang berdemo anti zionisme, Gus Dur justru pergi ke Israel, pada saat orang cenderung membela agama sendiri dan (diam-diam atau terang-terangan) menjelekkan agama lain, Gus Dur justru dengan keras menyampaikan otokritiknya pada Islam.

Bagi saya pribadi Gus Dur sungguh tokoh yang luar biasa karena keberpihakannya pada mereka yg minoritas, yg tertindas, yg terpinggirkan. Semangat kemanusiaan Gus Dur saya kira sungguh patut menjadi teladan bagi bangsa Indonesia. Justru di sinilah letak masalahnya, sepeninggal Gus Dur, banyak tokoh memuji-muji Gus Dur sebagai tokoh terdepan yg memperjuangkan pluralitas di Indonesia. Tapi pertanyaannya: siapa yg akan menjadi penerus beliau ? bahkan mereka yg memuji semangat pluralisme Gus Dur sekalipun mungkin belum tentu sepaham dengan beliau.

Namun demikian saya tetap optimis, bahwa benih yg ditabur Gus Dur akan berkembang subur, setidaknya di kalangan generasi muda NU, dan semoga pada segenap generasi muda Indonesia.