Monday, September 20, 2010

Presiden prihatin, rakyat apalagi !


Di harian Kompas, edisi Sabtu, 18 September 2010, presiden SBY menyampaikan keprihatinannya atas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bagi saya pernyataan presiden tersebut sungguh aneh, karena dalam pemahaman saya, selaku presiden, justru SBY adalah salah satu orang yg paling bertanggung-jawab dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Sepanjang yg dapat saya amati, justru banyak kebijakan presiden yg tidak tegas dalam soal pemberantasan korupsi, misalnya bagaimana baru-baru ini presiden memberikan remisi hukuman kepada para koruptor kakap. Juga bagaimana dalam kasus Century dan perseteruan KPK-Polri presiden tidak bersikap tegas, padahal KPK sudah membuktikan kesungguhan dan prestasi luar biasa dalam memberantas korupsi. Perseteruan KPK-Polri justru menunjukkan kesan adanya rekayasa pemerintah untuk melemahkan KPK.

Yang terakhir adalah kasus rekening gendut para Jenderal Polisi. Seperti kita tahu bahwa polisi sebetulnya yg menjadi harapan kita dalam memberantas korupsi. Seharusnya polisi berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi. Tapi kenyataan berbicara lain. Kasus rekening gendut menunjukkan bahwa polisi tidak transparan. Tidak transparannya polisi membuka peluang terjadinya penyimpangan. Dan penyimpangan itu adalah pelanggaran hukum.

Jadi kurang tepat rasanya kalau presiden prihatin atas korupsi, lebih tepat presiden prihatin pada dirinya sendiri.

Tuesday, September 14, 2010

Adakah kepekaan dalam hati kita ?

Jika kita bicara Indonesia, kita bicara dalam konteks yg besar, satu negara, satu bangsa, satu tanah air. Sebuah negara dengan lebih dari 13.000 pulau dan (mungkin) 200 juta penduduk ?Indonesia sebagai sebuah wadah di mana kita hidup.

Tapi sebelum kita sampai ke dalam lingkup satu negara, terlebih dahulu kita harus punya kemauan dan kemampuan untuk bicara dalam lingkup yg kecil. Karena satu hal besar terbentuk atas banyak sekali perkara kecil.

Bicara hal kecil, kita harus punya kepekaan, karena sesuatu yg kecil biasanya tidak begitu tampak menyolok, suaranya lirih nyaris tak terdengar, sosoknya kecil hingga seolah-olah terinjak-injak oleh massa yg besar.

Saya tersentak membaca kisah tewasnya seorang tuna netra di depan Istana. Seorang tuna netra yang menunggu dari pagi hingga sore, bersama dengan puluhan atau ratusan orang lainnya, menunggu belas kasihan, menunggu rezeki.

Saya sependapat dengan Ikrar Nusa Bakti yg menyampaikan opininya di Harian Seputar Indonesia, edisi 14 September 2010. Pokok pikiran Ikrar Nusa Bakti yg utama saya kira adalah bhw budaya membagi-bagi uang kepada rakyat jelata (seperti yg terjadi di Istana) sebetulnya sama saja dg melanggengkan feodalisme, menempatkan rakyat dlm posisi pihak tak berdaya yg perlu ditolong dan di lain pihak membutuhkan kebaikan, kemurahan hati dan belas kasihan sang pemberi.

Dalam hal ini saya kira ada dua hal yg bisa menjadi permenungan:
1. budaya memberi dengan pola seperti di atas di satu sisi memberi kesan bahwa sang pemberi adalah manusia berhati mulia
2. di lain pihak pada saat yg sama, si pemberi tadi juga sekaligus "menipu" rakyat jelata, karena menampilkan dirinya sebagai sosok suci namun sebetulnya apa yg dilakukannya tidak mempunyai nilai apa-apa dibandingkan dengan yang seharusnya dia berikan kepada rakyatnya.

Hal kedua ini akan semakin kentara jika sang pemberi sekaligus adalah juga penguasa. Penguasa yg punya wewenang, kekuatan, kekuasaan, legitimasi dan sederet otoritas yg lainnya. Penguasa yg jika dia bekerja dengan tulus -misalnya memberantas korupsi- maka bisa memberikan kepada rakyatnya bukan hanya "angpau" Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu untuk seorang tuna netra miskin yg menunggu dari pagi, namun dia bisa mengupayakan kesejahteraan untuk ratusan atau ribuar orang.

Friday, September 10, 2010

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431H

Pada hari yg penuh berkah ini, saya ingin mengucap selamat hari raya Idul Fitri 1431 H, Mohon Maaf Lahir & Batin.

Saya juga ingi mengajak kita semua untuk merenungi hari raya ini, pertama-tama bukan dari sudut pandang agama tapi lebih dari aspek sosial ekonomi. Bahwa setiap hari raya Idul Fitri di Indonesia kita selalu melihat fenomena mudik. Jumlah pemudik yg terus meningkat dari tahun ke tahun, fasiltas angkutan para pemudik yg sangat tidak memadai, tingginya trafik mudik yg menyebabkan kemacetan berkilo-kilometer panjangnya dan tingginya kecelakaan dan korban tewas karena mudik.

Saya kira sudah waktunya ini menjadi fokus perhatian pemerintah. Fenomena mudik ini sebetulnya menunjukkan kepada kita bhw hingga saat ini masih terjadi ketimpangan pembangunan antara desa dan kota.....

Masalah terbesarnya saya kira adalah:
1. ketimpangan pembangunan terhubung langung dengan besarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, rakyat miskin di pedesaan semakin terpinggirkan dan tidak punya kesempatan untuk memperbaiki nasib
2. masalah di atas merembet ke masalah lain seperti arus urbanisasi tak terbendung, kota-kota besar menjadi terlalu padat, berujung ke kemacetan, polusi, angka kriminalitas tinggi, masalah kesehatan dsb

Tentu ini bukan perkara mudah untuk mengatasinya, yg terpenting saya kira adalah adanya itikad baik yg tulus dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, dan itu hanya bisa dicapai jika ada kesungguhan untuk memberantas korupsi. Korupsi menghambur-hamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi, itu harus dihentikan, uang negara tersebut seharusnya disalurkan kembali ke rakyat, terutama rakyat kecil untuk peningkatan kesehatan, pendidikan murah dsb.

Wednesday, September 08, 2010

Halo Polisi (2) ?

Iseng-iseng saya amati, sejak blog ini saya terbitkan tahun 2006 isu yang paling menarik dalam blog ini adalah yang terkait dengan polisi. Indikasi terlihat dari:
1. report dari google/analytics
2. komentar yg masuk

Di satu sisi banyak kritik cukup keras dari masyarakat pembaca, di lain sisi ada krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian yang sekaligus memperlihatkan sebetulnya betapa besar harapan masyarakat terhadap polisi.

Saya kira itu suatu hal yg sangat masuk di akal, karena tentu orang berharap akan hidup yang aman dan nyaman, orang butuh perlindungan, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum dan ... keadilan.

Di lain pihak, kita sendiri melihat bagaimana kinerja atau performansi pihak kepolisian. Polisi yg seharusnya melindungi dan melayani (seperti slogan yg tertera di mobil patrolinya), dalam kenyataannya jauh sekali dari citra seperti itu. Kesan yg muncul justru seringkali polisi lebih dilihat sebagai "pemeras" atau "oknum pungli". Yang paling parah adalah kesan bhw aparat kepolisian bersekongkol dengan penguasa atau pengusaha...

Banyak kasus yang terjadi semakin menguatkan citra itu, saya sebut saja:
1. kasus rekening gendut para Jenderal Polisi
2. kasus pemerasan oleh 7 oknum polisi terhadap tersangka narkoba yg ternyata polisi yg sedang menyamar
3. kasus pengadilan ketika tiba-tiba pihak polisi menyatakan tdk punya rekaman pembicaraan tersangka
4. kasus rekayasa pada pengadilan Antasari Azhar dimana Komisaris Polisi Wiliardi Wizard mengaku dipaksa membuat kesaksian palsu yang memberatkan Antasari

Selain kasus di atas mungkin masih ada ratusan atau ribuan kasus lainnya, termasuk kisah-kisah yg Anda alami sendiri.

Saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu, saya mematri kaca mata saya yg patah ke seorang tukang emas di seberang terminal Pasar Senen. Waktu itu di seberang terminal Senen berjejer cukup banyak kios tukang emas yang melayani jual beli emas dan melebur emas. Sementara saya menunggu kaca mata saya dipatri, tiba-tiba datang seseorang terengah-engah dan tergopoh-gopoh habis berlari, menyerahkan kalung dan gelang emas minta dilebur. Pada awalnya saya tidak sadar, belakangan baru saya tahu bhw orang tersebut adalah penjambret yg baru saja melebur emas hasil rampasannya.

Tidak masuk akal bagi saya bhw kegiatan itu tidak diketahui polisi, bhw jajaran tukang emas di seberang terminal Senen itu sebetulnya "satu ekosistem kejahatan" dengan para pencopet dan penjambret yg beroperasi di terminal Senen. Jika polisi punya itikad baik dan tulus memberantas kriminalitas tentu tidak sulit menggrebek para tukang emas yg berfungsi sebagai tukang tadah tersebut.

Ini adalah kisah nyata yg saya alami sendiri beberapa tahun lalu, mungkin Anda pembaca punya pengalaman yg lain....

Masalahnya adalah bagaimana kita bisa berharap lingkungan kita aman, bagaimana kita berharap ada kepastian hukum, bagaimana kita berharap Indonesia bisa maju bebas dari korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya berada di posisi terdepan justru menjadi pelaku atau otak atau bersekongkol dengan penjahat itu sendiri.

Sampai kapan Indonesia akan seperti ini, wallahualam.