Friday, September 26, 2014

Sikap SBY terhadap RUU Pilkada Terbukti Hanya Pencitraan











Saya dan banyak orang dan (mungkin) sebagian dari Anda termasuk pendukung Pilkada secara langsung oleh masyarakat, tidak melalui DPRD yang (konon) adalah wakil rakyat.  Pada saat mendengar kabar bahwa SBY juga mendukung Pilkada secara langsung, saya cukup optimis bahwa keinginan segelintir orang yang dimotori oleh Koalisi Merah Putih di DPR RI untuk mengubah UU Pilkada ini tidak akan berhasil.   Apalagi kabar tentang sikap SBY tersebut  bahkan ada rekamannya di Youtube, di beberapa harian juga saya baca.











Terus terang saya sempat berprasangka bahwa sikap SBY tersebut didasari oleh perolehan Partai
Demokrat yang sangat rendah pada Pemilu kali ini, sehingga seandainya pemilihan melalui DPRD sekalipun, kecil peluang Demokrat untuk bisa mengajukan calonnya, mengingat jumlah suaranya yang rendah.













Ternyata dugaan saya keliru. Bahwa ternyata sikap politik SBY tersebut tidak sungguh-sungguh. Hanya sekedar pencitraan atau memberi kesan positif saja. Faktanya pada saat voting penetapan RUU Pilkada tersebut, seluruh anggota fraksi Demokrat melakukan walk out.   Suatu hal yang mustahil tidak diketahui atau tanpa seijin SBY selaku Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Sekali lagi, fakta membuktikan dan Anda bisa melihat sendiri, apakah bapak SBY mempunyai ketulusan hati dalam bertindak.

Saturday, September 20, 2014

Merindukan Pemimpin yang Cerdas dan punya Visi (renungan kecil menyambut IIMS 2014)


Siapapun Anda, saya yakin Anda mendambakan bahwa pemimpin Anda adalah seorang yang cerdas dan punya visi yang bagus. Cerdas saja tidak cukup, sebab sekalipun cerdas bila tidak punya visi yang jelas dan tidak punya ketegasan sikap, mustahil bisa menghasilkan kebijakan yang bagus, adil dan berorientasi untuk kepentingan rakyat banyak.

Pada kesempatan ini, saya ingin membahas masalah klasik yang sudah dihadapi Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu, subsidi BBM yang tinggi dan terus membengkak sehingga membebani anggaran negara.  Pemerintah yang tidak cerdas mengeluhkan masalah tersebut dan berulang kali gagal mengatasinya.

Menurut saya (yang bukan orang pintar ini), tingginya subsidi BBM disebabkan karena kegagalan pemerintah menyediakan transportasi publik yang layak dan nyaman dipakai. Akibatnya banyak orang lebih suka membeli kendaraan pribadi, karena terasa "nyaman" dan fleksibel.  Hal ini menyebabkan masalah baru yaitu tingginya konsumsi BBM dan otomatis tingginya beban subsidi, kedua adalah masalah kemacetan dimana-mana, berikutnya adalah polusi udara yang parah, dilanjutkan dengan kualitas hidup yg buruk karena orang lelah, energi terbuang sia-sia karena berjam-jam waktu habis di jalan karena macet, plus harus menghirup udara yg kotor kena polusi.

Pemerintah kita sudah jelas sekali gagal menganalisa masalah ini (entah ini rumit atau sederhana).  Terbukti hingga saat ini pemerintah masih belum berhasil menyediakan transportasi yang layak dan nyaman.  Mudah-mudahan ada sedikit perbaikan dengan pembangunan MRT di Jakarta.

Kebijakan LCGC (low cost green car) yang ramai diributkan beberapa waktu lalu (dan ditentang oleh Gubernur DKI Jokowi) jelas-jelas membuktikan bahwa pemerintah tidak punya visi. Argumen presiden SBY juga terdengar janggal dan ajaib, waktu beliau berkilah mengatakan bahwa LCGC diperuntukkan bagi masyarakat pedesaan.  Prihatin saya mendengarnya........   (sejenak tertawa miris.....).

Seandainya saya (yang tidak pintar ini) berperan sebagai pemerintah, menghadapi masalah seperti ini saya akan mengambil beberapa langkah sebagai berikut:
  1. menyediakan transportasi yang layak dan murah, alih-alih memilih MRT atau monorail atau apapun transportasi dengan teknologi tinggi dan mahal, saya akan mengusahakan pembangunan KRL menjangkau sebanyak mungkin area pemukiman padat penduduk (anggaran Trilyunan untuk subsidi BBM dialihkan saja untuk pembebasan lahan, KRL kita gunakan produk lokal PT INKA Madiun)..
  2. pembatasan kendaraan pribadi, pajak kendaraan dinaikkan berlipat ganda terlebih untuk mobil mewah di atas kapasitas cc tertentu (misalnya di atas 1.500 cc, pajak berlipat ganda)
  3. pajak mobil dilipat gandakan lagi untuk mobil kedua dst yang dimiliki oleh satu keluarga (hal ini akan menjadi PR dalam implementasinya karena dibutuhkan dukungan data yg lengkap dan valid)
  4. pembatasan penjualan mobil, pembatasan impor mobil, pelarangan pameran mobil
Anda boleh setuju atau tidak dengan saya. Tapi menurut saya, tingginya konsumsi mobil di Indonesia (terutama Jakarta) memberi keuntungan terbesar bagi produsen mobil yang nota bene semuanya adalah pihak negara asing. Rakyat mungkin mendapat sedikit saja keuntungan tapi lebih banyak kerugian.

IIMS (Indonesia International Motor Show) kembali digelar tahun ini.  Ajang bergengsi yang menyedihkan, puluhan ribu orang mengantri membeli tiket seharga Rp 40.000.- untuk masuk ke area pameran.  Masyarakat diming-imingi dengan berbagai mobil canggih, mewah dan mahal.   Trilyunan Rupiah transaksi terjadi, belasan ribu mobil terjual. Akibatnya Jakarta makin macet, udara makin kotor, konsumsi BBM bertambah, beban subsidi semakin membengkak.

Sekedar info saja, IIMS tahun 2011 diperkirakan membukukan transaksi penjualan mobil senilar Rp 3,2 Trilyun. IIMS tahun 2012 transaksi penjualan Rp 4,5 Trilyun. IIMS tahun 2013 transaksi sebesar hampir Rp 5 Trilyun dan 19.367 mobil terjual.   Para pengusaha mobil dan produsen mobil (dari negara lain) semuanya tertawa senang.

Ironi. 

Sunday, September 14, 2014

Mempertanyakan Kebijakan Presiden SBY

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak Presiden, siapapun presiden yg menjabat entah itu pak SBY atau pak Jokowi, saya kira kita harus selalu kirits menyikapi kebijakan pemerintah. Apakah kebijakan itu tepat dan kenapa kebijakan tersebut harus diambil.

Terus terang saya sangat kaget membaca berita utama di Harian Warta Kota, Rabu, 10 September 2014 lalu. Bunyi beritanya: "Mobil Dinas Menteri Baru Rp 1,8 Milyar, pengadaan oleh pemerintah SBY, Jokowi tak setuju pengadaan mobil baru".

Di saat kondisi ekonomi negara sedang terpuruk seperti ini, kok tega-teganya mengambil keputusan seperti itu.   Apa urgensinya membeli mobil baru seharga Rp 1,8 Milyar.  Mobil seharga Rp 500 Juta saja sudah sangat mewah.  Jargon-jargon pak SBY yang selama ini seolah-olah peduli pada kesejahteraan rakyat jadi hilang tak berbekas.  Sebetulnya ini bukan peristiwa pertama, sebelumnya kebijakan pemerintah SBY untuk membeli pesawat kepresidenan juga membuat saya heran tak habis pikir.  Juga kemudian pembelian sekian ratus tank Leopard II dari Jerman.

Selama pemerintahan SBY begitu banyak kasus pengeluaran uang negara dengan cara yang -menurut saya- tidak layak, lebih tepat disebut menghambur-hamburkan uang rakyat untuk keperluan yang tidak urgen dan tidak langsung berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, namun lebih pada citra dan prestise saja.

Semakin kaget lagi saya ketika membaca Harian Koran Jakarta Minggu, 14 September 2014. Kolom "Perspektif" di halaman 2 berjudul "Transparansi Utang Negara"   Di situ disebutkan bahwa pada akhir tahun 2012 utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 2.156 Trilyun dan pada akhir 2013 besarnya Rp 2.652 Trilyun, jadi selama tahun 2013 saja, pemerintah SBY telah menambah utang sebesar hampir Rp 500 Trilyun.

Saya tidak punya komentar atas hal ini, selain kaget bercampur heran dan bingung, bagaimana penjelasan pak SBY atas hal ini, dan bagaimana dalam kondisi keuangan seperti itu pemerintah SBY masih sempat mengadakan pembelian pesawat kepresidenan (yang menurut saya tidak perlu), juga ratusan tank Leopard II (yang juga menurut saya tidak mendesak) dan mungkin ada banyak lagi keputusan pembelian lain yang kita tidak tahu karena tidak pernah dipublikasikan ke rakyat banyak para pembayar pajak.