Saturday, February 28, 2009

Euforia atas terpilihnya Obama sebagai Presiden AS

Kalau bagi Amerika, terpilihnya Obama membuktikan bahwa mereka telah maju selangkah lagi dalam proses demokrasi. Bahwa setelah ratusan tahun akhirnya seorang kulit hitam bisa terpilih menjadi presiden.

Bagi Indonesia, naiknya Obama membangkitkan euforia tersendiri, hanya karena Obama kecil dulu pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia, lalu banyak orang Indonesia (mungkin) berharap-harap Amerika Serikat akan lebih memperhatikan Indonesia.

Tambahan lagi dengan kunjungan Hillary Clinton selaku Menlu, yg penuh senyum dan dengan simpatik mengatakan sangat terkesan dengan makanan Indonesia. Kunjungan Hillary ini menjadi semakin menarik karena biasanya Menlu baru AS mengadakan kunjungan pertamanya ke Eropa, tapi kali ini ke Asia termasuk Indonesia.

Saya tidak ingin berprasangka buruk. Tapi sejarah membuktikan bahwa dalam relasi Indonesia dengan AS, negara kita selalu berada dalam posisi subordinat, dirugikan, dilecehkan, dimanfaatkan. Dan hal ini bisa terjadi karena pemerintah Indonesia sendiri yg membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu.

Terkait dengan hal ini saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh larut dengan euforia bhw Obama pernah dibesarkan di negeri ini. So What ? Lalu apa ?

Saya setuju sekali dengan apa yg dikatakan oleh Bara Hasibuan (Rubrik Internasional hal. 5 di harian Kompas Minggu, 15 Februari 2009): "Apakah yang kita mau atau kehendaki dari hubungan dengan AS di bawah Obama?"

Reportase di Kompas tersebut juga memaparkan adanya dugaan bahwa banyak korporasi AS (termasuk yg bekerja di Indonesia) telah melanggar FCPA (Foreign Corrupt Practices Act). FCPA adalah sebuah peraturan yg melarang semua korporasi AS yg beroperasi di luar negeri untuk menyuap para pejabat di negara dimana mereka bekerja.

Apakah dugaan ini beralasan ?, lebih jauh Kompas menulis bhw New York Times edisi19 Januari 2006 pernah melaporkan adanya pengakuan dari eksekutif Freeport Mc Moran Copper & Gold bhw pemerinta AS meneliti kasus suap yg diberikan oleh perusahaannya ke oknum militer Indonesia.

Huffington Post edisi 28 Nopember 2008 menyinggung penyuapan yg dilakukan Newmont Mining Company ke oknum militer Indonesia dalam rangka melindungi bisnisnya yg merusak lingkungan.

Saya kira isu FCPA ini bisa menjadi entry point diskusi kita atau tuntutan kita ke AS. Bila pemerintah AS selalu berkoar-koar soal penegakan HAM, kita juga boleh menuntut mereka secara proaktif mengawasi pelaksanaan aturan FCPA. Karena pelanggaran FCPA berarti AS membiarkan korporasinya melakukan tindakan tidak adil, manipulasi keuangan, merusak lingkungan, pada saat yg sama memberikan keuntungan hanya ke segelintir orang (para oknum militer dan pemerintah), dan itu semua setara dengan pelanggaran HAM berat.

Masalahnya adalah apakah pemerintah Indonesia punya kesadaran, keberanian dan niat untuk menyampaikan tuntutan ini ?

Wednesday, February 11, 2009

Pemilu Indonesia 2009, sebuah proses Pembodohan

Banyak orang menyebut Pemilu di Indonesia sebagai sebuah “Pesta Demokrasi”. Saya tidak sependapat, saya lebih suka menyebutnya proses pembodohan. Mohon maaf saya tidak punya istilah yg lebih halus. Apa yang hendak dicapai dengan sebuah Pemilu yang diikuti oleh 44 partai politik ?

Saya kira rumusan Todung Mulya Lubis dalam kolomnya berjudul “Partai Politik: Nafsu Besar Tenaga Kurang” di majalah Tempo edisi 5-11 Januari 2009 sangat tepat. Demikian Todung menulis (halaman 112):

“…pemerintahan yang kuat akan sulit terbentuk di negara yang banyak partainya, dan pengalaman kita sejak 1999 menunjukkan kekuasaan pemerintah terus-menerus tergerus. Pemerintah dipaksa melakukan kompromi yang akhirnya membuat banyak program tak berjalan, dan inilah yang juga bakal kita alami pasca Pemilu 2009 nanti.

Bagaimana mungkin ada partai yang bisa memperoleh suara mayoritas di pemilu yang diikuti 44 partai politik ? Akhirnya, tak bisa dihindarkan, yang bakal terjadi adalah koalisi antarpartai, yang berarti menguatnya transaksi politik antar partai. Yang saya takutkan, pengalaman demokrasi yang tak melahirkan pemerintahan yang kuat dan tak efektif ini akan membuat rasa tidak puas mendorong kembali negara ini ke masa lalu yang otoriter tapi diperintah oleh pemerintahan yang relatif. Kerinduan akan masa lalu yang stabil dan “agak makmur” secara ekonomi memang sudah sering kita dengar, dan kita tak boleh menganggap remeh kerinduan ini”

Ada dua pokok pikiran Todung di paragraf ini, pertama soal banyaknya partai politik menyebabkan terbentuknya pemerintah yang tidak kuat. Kedua, bahwa pemerintahan yang tidak kuat tadi mendorong menguatnya kerinduan akan pemerintahan yang kuat tapi otoriter.

Pada kesempatan ini saya ingin fokus pada pokok pikiran pertama, dan itu saya kira sudah terjadi pada masa pemerintahan SBY saat ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya terpilih secara mutlak dan memiliki legalitas penuh sebagai presiden, namun di lain pihak harus diakui bahwa SBY tidak mempunyai basis massa. SBY dicalonkan oleh Partai Demokrat yang perolehan suaranya jauh dibawah Golkar dan PDIP misalnya. Akibatnya adalah SBY sibuk melakukan kompromi dengan partai-partai besar tersebut, karena kekhawatiran tidak akan mendapatkan cukup dukungan oleh legislatif.

Hal serupa mudah ditebak akan terulang pada Pemilu 2009 ini. Siapapun yang terpilih sebagai presiden akan sibuk melakukan kompromi politik untuk bisa mendapatkan dukungan dari begitu banyak partai.

Tapi di luar soal di atas, secara sederhana saja sulit masuk di akal saya ada 44 buah partai politik di negara ini, dan itu bisa saja bertambah setiap saat. Begitu mudahnya membentuk sebuah partai, mungkin sama mudahnya dengan membuka satu cabang gerai minimarket, asal ada sejumlah pendukung dan cukup uang, jadilah. Kemudahan ini saya kira bukanlah sebuah pembelajaran politik yang baik. Yang menariknya lagi, di negeri ini setiap kali terjadi sengketa atau konflik internal partai, begitu mudahnya sekelompok orang memisahkan dirinya dari partai induknya dan mendirikan partai baru.

Saya tidak pro Amerika, tapi dalam beberapa hal kita patut belajar pada Amerika. Di Amerika hanya ada dua partai, dan setiap partai mempunyai pendukung yang loyal pada partainya tersebut. Pendukung loyal pada partai dan ideologi partai, dan tidak mempunyai agenda pribadi sendiri. Sehingga sebagai contoh pada saat Hillary Clinton kalah sebagai calon presiden, maka saat itu juga dia langsung dengan besar hati memberikan dukungan penuh kepada Barrack Obama, rivalnya dari satu partai yang sama.