Monday, October 06, 2008

PLTN di Indonesia (1)

Semalam saya nonton National Geographic (beruntunglah saya punya akses ke Indovision sehingga masih bisa nonton NG). Kisahnya tentang Bahrain yang sedang membangun gedung Bahrain World Trade Center. Apa yang luar biasa dari gedung ini ? adanya tiga buah turbin pembangkit listrik bertenaga angin yang diletakkan di antara kedua gedung tersebut. Pembangunan gedung ini menunjukkan bhw Bahrain sudah mempunyai visi bagaimana memanfaatkan energi angin yang tersedia berlimpah dan cuma-cuma, tepat pada momen dimana energi fosil sudah menipis dan dunia dilanda pemanasan global.

Sebagai seorang yg punya minat besar terhadap hal-hal berbau teknologi, saya sangat mengagumi maha karya Bahrain WTC tersebut, pertama-tama bukan karena kemegahan, kemewahan dan keindahannya, tapi adanya satu visi tentang konservasi energi. Padahal Bahrain sendiri merupakan salah satu negara petrodollar yang kaya raya karena minyak, tapi mereka tidak mau dimanjakan oleh kondisi alam tersebut.

Selama dan setelah menonton acara tersebut, saya terus merenungkan kekaguman saya, dan tiba-tiba saya teringat pada rencana pemerintah Indonesia membangun pembangkit listrik bertenaga nuklir.

Terkait isu ini, sudah banyak pro dan kontra terjadi. Saya sendiri pada awalnya turut mendukung rencana ini. Kisahnya berawal sekitar beberapa tahun yg lalu saat saya menghadiri sebuah seminar tentang Energi Listrik. Pembicara mengatakan bahwa di Indonesia saat ini potensi air sudah habis tergarap (artinya tidak mungkin membangun PLTA lagi), sementara penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik akan menimbulkan polusi udara yang berat, sumber lain seperti panas bumi tidak akan cukup memenuhi kebutuhan sehingga alternatif tersisa adalah nuklir. Waktu itu saya manggut-manggut saja.

Tetapi sebagai seorang manusia yang mempunyai kemampuan berpikir, saya kira tidak bertanggung-jawab kalau kita menerima begitu saja laporan dari Seminar tersebut. Kalau diibaratkan dengan seorang sakit parah yang datang ke satu dokter dan divonis harus operasi, maka wajiblah kita mencari "second opinion" ke dokter lain. Dokter juga manusia toh ? dan diagnosanya belum tentu 100% benar.

Sebagian argumen dari pihak pro PLTN sdh saya pahami, meskipun masih jauh dari lengkap. Di sinilah sekali lagi kita tidak bisa serta merta percaya pada argumen kelompok pro PLTN. Sehingga kita perlu mencari tahu bagaimana argumen dari pihak kontra. Sebagai acuan saya coba berangkat dari beberapa artikel yang dimuat di majalah Basis edisi Maret-April 2008 lalu, di antaranya tulisan Dr Liek Wilardjo (fisikawan), Dr Karlina Supeli (astronom & dosen) serta Prof Dr Franz Suseno (guru besar ilmu filsafat).

bersambung.....

No comments:

Post a Comment