Monday, August 23, 2010

Dibutuhkan Itikad Baik yang Tulus












Jika Anda tinggal di Jakarta, tentu Anda akan merasakan sendiri betapa saat ini kondisi lalu lintas di Jakarta sungguh tidak layak. Kemacetan terjadi hampir di semua tempat dan sudah sampai pada level yang "tidak masuk di akal".

"Tidak masuk di akal" dalam arti bahwa tidak dapat dimengerti bahwa tingkat kemacetan sudah sampai seburuk ini tapi masih belum ada tindakan nyata dari Pemerintah. Solusi Bus TransJakarta dengan jalur khusus yg disebut Busway, menurut saya tidak banyak membantu, malah menambah kemacetan. Karena jalur yg digunakan busway bersifat dedicated, tidak boleh lagi digunakan kendaraan umum atau pribadi lainnya. Di lain pihak, jumlah busnya juga tidak cukup banyak, penumpang berjubel, dan ... tentunya membuat jalan yg sdh dialokasikan untuk busway menjadi tidak terutilisasi secara efisien.

Jika kita telaah lebih jauh, kerugian yg ditimbulkan akibat kemacetan sungguh besar, mulai dari pemborosan energi BBM, polusi udara, tingginya kecelakaan dsb. Koran Seputar Indonesia edisi 9 Agustus 2010 menyebut bhw menurut studi Yayasan Pelangi pada 2005, angka kerugian ekonomi yg diderita akibat kemacetan di Jakarta senilai Rp 12,8 Trilyun pertahun yg mencakup nilai waktu, biaya bahan bakar dan biaya bahan bakar.

Pada edisi yg sama, Seputar Indonesia menyebutkan bahwa dibutuhkan "kebijakan yg radikal untuk mengatasi kemacetan di Jakarta". Saya tidak sependapat dg gagasan ini, menurut saya yang dibutuhkan adalah "itikad baik yg tulus", sesederhana itu ?

"Itikad baik yg tulus" adalah satu hal yg sederhana saja tapi datang dari dalam hati yg tulus dengan niat mulia untuk mengatasi satu masalah yg dihadapi bersama. Tidak dibutuhkan aturan macam-macam atau teknologi yg canggih, tidak perlu monorail segala macam. Sudah jelas bahwa solusi masalah kemacetan ini adalah penyediaan transportasi massal.

Pertanyaannya adalah transportasi massal type apa yg layak di Jakarta ?. Kereta bawah tanah jelas tidak mungkin karena biayanya kelewat tinggi. Apakah monorail cocok ? saya tidak yakin, selain teknologinya baru bagi kita, kereta monorail juga belum bisa diproduksi sendiri.

Kenapa kita tidak berpikir untuk mengoptimalkan teknologi KRL yg sdh digunakan saat ini untuk jalur Jakarta-Bogor-Bekasi ? selain teknologinya sederhana, kita sudah mampu memproduksi sendiri kereta ini. Pengadaan kereta produksi dalam negeri selain akan mendorong tumbuhnya industri lokal, juga akan banyak menghemat devisa.

Pada edisi tersebut, Seputar Indonesia juga menyebutkan bhw angka pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta adalah 240 unit mobil dan 890 unit sepeda motor setiap hari. Saya kira ini satu angka yg mengerikan, bagaimana dapat dibayangkan kondisi lalu lintas di Jakarta satu, dua atau tiga tahun ke depan ? Tidakkah pemerintah tergerak hatinya untuk segera mengambil langkah antisipasi ? tidak perlu jauh-jauh studi busway ke Bogota atau menggunakan monorail seperti di Bangkok, cukuplah menggunakan teknologi sederhana dan kereta listrik buatan Madiun.

Sekali lagi yg dibutuhkan adalah itikad baik yang tulus.

1 comment:

  1. Jika pemerintah mau, lakukan yang instan dan murah (tugas rutine) yaitu : 1.BENAHI (ada sanksi pemecatan pada oknum Polisi dan DLLAJ) soal pemilikan SIM dan KIR, termasuk kenakan denda dan cabut pemilikan SIM bagi yang tidak/ belum berhak mendapatkan atau yang telah tiga kali melanggar lalulintas. 2.PELARANGAN ( adanya denda atau hukuman kerja sosial bagi oknum petugas dan masyarakat siapapun ) total adanya kegiatan apapun termasuk parkir kendaraan. 3. Sering sering ada sidak dari Presiden/Wapres/Satgas Khusus dan Gubernur/ Wagub.

    ReplyDelete