Tuesday, September 14, 2010

Adakah kepekaan dalam hati kita ?

Jika kita bicara Indonesia, kita bicara dalam konteks yg besar, satu negara, satu bangsa, satu tanah air. Sebuah negara dengan lebih dari 13.000 pulau dan (mungkin) 200 juta penduduk ?Indonesia sebagai sebuah wadah di mana kita hidup.

Tapi sebelum kita sampai ke dalam lingkup satu negara, terlebih dahulu kita harus punya kemauan dan kemampuan untuk bicara dalam lingkup yg kecil. Karena satu hal besar terbentuk atas banyak sekali perkara kecil.

Bicara hal kecil, kita harus punya kepekaan, karena sesuatu yg kecil biasanya tidak begitu tampak menyolok, suaranya lirih nyaris tak terdengar, sosoknya kecil hingga seolah-olah terinjak-injak oleh massa yg besar.

Saya tersentak membaca kisah tewasnya seorang tuna netra di depan Istana. Seorang tuna netra yang menunggu dari pagi hingga sore, bersama dengan puluhan atau ratusan orang lainnya, menunggu belas kasihan, menunggu rezeki.

Saya sependapat dengan Ikrar Nusa Bakti yg menyampaikan opininya di Harian Seputar Indonesia, edisi 14 September 2010. Pokok pikiran Ikrar Nusa Bakti yg utama saya kira adalah bhw budaya membagi-bagi uang kepada rakyat jelata (seperti yg terjadi di Istana) sebetulnya sama saja dg melanggengkan feodalisme, menempatkan rakyat dlm posisi pihak tak berdaya yg perlu ditolong dan di lain pihak membutuhkan kebaikan, kemurahan hati dan belas kasihan sang pemberi.

Dalam hal ini saya kira ada dua hal yg bisa menjadi permenungan:
1. budaya memberi dengan pola seperti di atas di satu sisi memberi kesan bahwa sang pemberi adalah manusia berhati mulia
2. di lain pihak pada saat yg sama, si pemberi tadi juga sekaligus "menipu" rakyat jelata, karena menampilkan dirinya sebagai sosok suci namun sebetulnya apa yg dilakukannya tidak mempunyai nilai apa-apa dibandingkan dengan yang seharusnya dia berikan kepada rakyatnya.

Hal kedua ini akan semakin kentara jika sang pemberi sekaligus adalah juga penguasa. Penguasa yg punya wewenang, kekuatan, kekuasaan, legitimasi dan sederet otoritas yg lainnya. Penguasa yg jika dia bekerja dengan tulus -misalnya memberantas korupsi- maka bisa memberikan kepada rakyatnya bukan hanya "angpau" Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu untuk seorang tuna netra miskin yg menunggu dari pagi, namun dia bisa mengupayakan kesejahteraan untuk ratusan atau ribuar orang.

2 comments:

  1. Itulah contoh proyek pencitraan yang membalut akal-akalan.

    ReplyDelete
  2. Itulah contoh akal akalan yang dibalut proyek pencitraan.

    ReplyDelete