Monday, December 09, 2013

Soal kemacetan di Jakarta: logika bengkok dari Pemerintah Indonesia

Anda yang tinggal atau bekerja di Jakarta, tentu merasakan sendiri dari hari ke hari tingkat kemacetan semakin parah.  Kalau dulu berangkat ke kantor dari rumah cukup jam setengah enam pagi, sekarang (mungkin) harus jam lima seperempat.  Kalau dulu (katakanlah setengah tahun yg lalu), pulang dari kantor jam lima sore, jalan di sekitar Patung Tani masih agak longgar, sekarang mungkin jam lima sore putaran Patung Tani sudah macet.

Titik awal kemacetan saya amati juga sudah bergeser, jika Anda datang dari arah Stasiun Cikini, menuju arah Metropole kemudian ke jalan Diponegoro, katakanlah setengah tahun yg lalu, pada sore hari sekitar jam setengah enam, kemacetan biasanya akan mulai di pertigaan Metropole, sekarang ini pada jam yang sama, awal kemacetan sudah bergeser maju, sudah mulai dari Stasiun Cikini.

Kemacetan di Jakarta sudah terjadi sejak sehingga lama sudah tidak lagi dilihat sebagai hal yang aneh.  Bagi saya yang jauh lebih aneh adalah sikap pemerintah dalam hal ini pak Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono berserta menteri-menterinya.......

Pertama: pernyataan Presiden SBY saat ditanya soal kemacetan Jakarta oleh  Kepala Negara lain, pak SBY menyatakan dirinya malu dan merasa tertusuk (oh betapa pedihnya ?).  Lengkapnya sebagai berikut: “Saat pertemuan ASEAN Summit di Brunei, saya juga seperti tertusuk bertemu teman saya yang perdana menteri. Ada yang bertanya, Pak (SBY), di Jakarta dari airport ke down town (pusat kota) bisa dua jam yah,” kata Presiden saat menerima kunjungan pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (4/11).


SBY juga menegaskan bahwa beliau tidak bisa berbuat banyak, karena kemacetan adalah tanggung jawab Gubernur.

Pertanyaan saya: apakah pantas seorang presiden menjawab seperti itu, tidak ada sikap gentleman, tidak ada sikap seorang leader, tidak ada sikap seorang negarawan, yang ada adalah mengeluh (malu dan merasa tertusuk) dan melemparkan tanggung-jawab ke orang lain (gubernur).

Alangkah bijaknya jika pak SBY menjawab demikian: "Betul memang kami menghadapi masalah serius dengan transportasi di Jakarta dan sudah menjadi komitmen saya untuk bersama dengan Gubernur mencari jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi masalah ini...."

Kedua: soal kebijakan mobil murah atau LCGC (Low Cost Green Car), mengenai hal ini sudah saya bahas di posting sebelumnya. ..Presiden SBY menyatakan bahwa mobil murah diperuntukkan bagi angkutan pedesaan, (maksudnya bukan untuk kota besar seperti Jakarta ?).  Ini saya kira pernyataan yang aneh bin ajaib dan diucapkan oleh seorang yang tidak paham permasalahan (kalau kita tidak diijinkan menggunakan kata bodoh karena terdengar kasar).

Jika betul mobil murah diperuntukkan bagi angkutan pedesaan, pertanyaan saya: "bagaimana mengatur distribusinya ? bagaimana membatasi atau melarang orang kota yang membelinya ? lalu, apakah betul masyarakat pedesaan membutuhkan mobil untuk transportasi mereka di pedesaan ? apakah mobil hendak dipakai untuk pergi ke sawah atau ke pasar ? ataukah mobil dibutuhkan untuk mengangkut hasil panen ?"

Sederet pertanyaan sederhana yang saya yakin pak SBY gak bisa jawab, karena statement beliau dari awal sudah tidak tepat dan menunjukkan ketidakpedulian beliau.

Faktanya jalan-jalan di Jakarta saat ini sudah mulai dipenuhi oleh mobil-mobil baru dan murah tersebut, seperti Daihatsu Ayla dan Toyota Agya, dan saya yakin pula bahwa ini adalah penambah kemacetan Jakarta yang sudah parah menjadi semakin parah.

Ketiga: soal kemacetan, pemerintah sudah kehilangan fokus.  Apa yang sesungguhnya dibutuhkan adalah transportasi publik yang massal, yang aman dan nyaman.  Bukan mobil pribadi yang sudah jelas akan memperparah kemacetan sekaligus menambah tingginya konsumsi BBM serta menambah polusi udara.  Tingginya konsumsi BBM secara langsung akan menambah tingginya subsidi BBM yang lagi-lagi dikeluhkan oleh pak SBY (presiden yang begitu gemar mengeluh).

Sekali lagi disini terlihat bahwa pemerintah belum sanggup berpikir secara terintegrasi dalam skala yang luas dan dalam jangka panjang.

Soal pemerintah yg hilang fokus ini juga terlihat dari pernyataan atau argumen pemerintah "...rakyat miskin juga berhak membeli mobil...." atau "....jangan halangi orang miskin untuk memiliki mobil sendiri...."   Sekali lagi isunya bukanlah bagaimana menyediakan mobil murah (entah itu buat orang miskin atau orang kaya) tapi bagaimana menyediakan transportasi publik yang murah, aman dan nyaman, sehingga bukan hanya orang miskin saja  yang mau menggunakan transporasi tersebut, tapi bahkan orang kayapun mau menggunakannya.

Logika dan argumen pemerintah yang terbolak-balik, tidak konsisten dan tidak terintegrasi, lagi-lagi menunjukkan pemerintah kita tidak cerdas.

1 comment:

  1. Memang sakit.. Beginilah kalau birokrat cuma peduli urusan perut.. Cm mikir gimana dapat pemasukan "lain-lain", Presidennya apatis, Sakit mental dikalangan birokrat dari tingkat kelurahan hingga pemerintah pusat

    ReplyDelete