Tuesday, April 07, 2009

Ketidakwarasan di Balik Pemilu


Judul posting ini saya kutip dari satu buah opini di Koran Tempo edisi Selasa, 7 April 2009. Bukan kata-kata yg terdengar enak di telinga, berkesan kasar dan sinis, tapi apa mau di kata, memang itulah yg saya pikirkan tentang Pemilu Indonesia kali ini.

Bila Romandhon dalam opininya menyinggung soal ulah "gila" para Caleg yang narsis dan para calon pemimpin bangsa yang mengumbar janji kosong sambil mencaci lawan politiknya, saya masih berbicara soal aturan Pemilu itu sendiri.

Masalah Multipartai

Sekali lagi Pemilu dengan multi hingga (bahkan) puluhan partai sulit diterima akal sehat.

Kemudahan mendirikan partai dan tidak adanya pembatasan, bukannya mencerminkan demokrasi yang baik tapi justru memperlihatkan sikap mau menang sendiri dan tidak adanya musyawarah, sesuatu yg selama ini dibanggakan dalam demokrasi Indonesia.

Fakta menunjukkan bahwa banyak partai baru sebetulnya adalah pecahan dari partai yg sdh ada sebelumnya. Pecahan partai ini terjadi karena adanya konflik kepentingan di antara pengurus partai, yg satu mungkin mau ke kiri yg lain mau ke kanan, karena tidak ada yg mau mengalah akhirnya bubar. Saya kira ini gejala yg menarik. Bila pendiri atau pengurus partai itu mengutamakan kepentingan umum maka saya yakin hal ini tidak akan terjadi.

Hal ini terlihat jelas di Golkar, yg "pertikaian internal" di dalamnya sdh melahirkan setidak-tidaknya dua partai baru: Hanura dan Gerindra. Karena Wiranto dan Prabowo ingin menjadi calon presiden sementara mereka tidak mendapatkan cukup dukungan dari Golkar, akhirnya mereka mendirikan partai sendiri. Hal yg sama juga terjadi di PDI Perjuangan.

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa banyak pemimpin kita lebih suka menang sendiri dan tidak mau mengalah. Alih-alih mencari kader terbaik partai untuk dicalonkan menjadi pemimpin bangsa, Wiranto dan Prabowo lebih suka mendirikan partai sendiri.

Yang unik adalah, setelah lahir begitu banyak partai, para politisi ini baru sadar bahwa suara pemilih pasti akan terpecah-pecah, sehingga sulit mendapatkan suara mayoritas. Akibatnya begitu banyak partai yg sdh lahir tadi menjadi sibuk berkoalisi. Yang satu berkunjung ke yang kedua, yg kedua mendekati yg ketiga. Partai keempat membuat kesepakatan dengan partai kelima dst, dst. Kesibukan koalisi ini sy kira tidak perlu terjadi bila jumlah partai dibatasi misalnya hanya tiga atau empat partai saja. Dengan jumlah partai yg terbatas, masing-masing partai akan mempunyai kekuatan cukup dan tidak perlu kasak-kusuk ke sana sini mencari kawan.

Masalah Pemilihan Caleg Langsung

Hal kedua yg ingin saya soroti adalah masalah pemilihan caleg secara langsung. Menurut saya mustahil bhw seluruh pemilih bisa mengenali dengan baik para calon legislatif yg diajukan partai. Akibatnya seperti yg sdh disebutkan oleh Romandhon dalam opininya di Koran Tempo, para caleg menjadi narsis, memajang fotonya di pohon-pohon dan sudut jalan, mengemis minta dukungan.

Ada keseragaman dan sesuatu yg monoton serta terasa kosong dalam poster-poster para caleg. Jargon-jargonnya: minta dukungan, mohon doa restu, sekiranya berkenan dst bla bla bla....

Bagi saya akan jauh lebih bernilai dan bermartabat, bila rakyat cukup memilih partai apa yg disukainya. Masalah siapa yg akan maju menjadi caleg nantinya, biarlah itu menjadi urusan internal partai. Dalam hal ini sekali lagi kita berasumsi bahwa para caleg harus mempunyai kedewasaan berpikir dan bersikap, tidak mau menang sendiri. Harus ada satu mekanisme internal partai, bagaimana menentukan kader terbaik partai untuk menjadi wakil rakyat yg duduk di DPR/DPRD.

Bagi para caleg sendiri, metode pemilihan seperti ini membuat kampanye menjadi bersifat personal. Para caleg harus merogoh koceknya sendiri dan bila perlu berutang kiri kanan untuk membiayai kampanyenya.

Apa untungnya bagi rakyat ?

Pertanyaan yg paling mendasar, dengan model Pemilu yang kita jalani sekarang ini, keuntungan apa yg didapatkan oleh rakyat ?. Sementara anggaran yg dihabiskan hingga puluhan trilyun rupiah.

No comments:

Post a Comment