Thursday, September 08, 2011

Logika berpikir Gumilar




















(foto dari Harian Koran Tempo, edisi 4 September 2011)

Apa jadinya kalau seorang Rektor dari Universitas terkemuka di negeri ini bersama dengan seorang Dirjen Pendidikan Tinggi tidak punya logika berpikir yg runtut dan jelas, tidak bisa menangkap apa yg menjadi aspirasi publik, tidak bisa memahami apa yg dimaksud pihak lain dan kemudian menyampaikan argumentasi yg tdk masuk akal ?

Itulah yg terjadi dengan Gumilar Rusliwa Somantri bersama dengan Djoko Santoso.

Masih terkait kasus pemberian gelar Doctor Honoris Causa ke Raja Arab Saudi. Berita di Harian Koran Tempo tanggal 4 September 2011 melaporkan bahwa pemerintah telah melakukan pengecekan atas pemberian gelar Doctor HC ke Arab Saudi dan menyimpulkan bahwa gelar tersebut tidak mungkin dicabut kembali karena sudah sesuai dengan prosedur yg benar.

Beberapa hal yg perlu dicermati:
1. Bahwa yg menjadi keberatan banyak pihak adalah pemberian gelar ini telah mengingkari rasa keadilan dan kemanusiaan masyarakat, karena begitu buruknya perlakuan yg diterima oleh tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi bahkan secara resmi telah menolak tuntutan pemerintah Indonesia agar memberi perlindungan hukum yang pantas kepada para tenaga kerja dari Indonesia.
2. Bahwa tidak pernah sekalipun ada tuntutan kepada Rektor Universitas Indonesia untuk mencabut kembali gelar Doctor HC yg telah diberikan kepada Raja Arab Saudi tersebut. Tidak perlu pintar untuk memahami bahwa hal tersebut mustahil, tentu akan berdampak sangat buruk pada hubungan antar kedua negara.
3. Bahwa yg dituntut dari Rektor Universitas Indonesia adalah permintaan maaf, bahwa tindakannya memberikan gelar tersebut telah menyakitkan hati ribuan tenaga kerja Indonesia yg diperlakukan semena-mena di Arab Saudi (dan dibiarkan saja oleh Pemerintah Indonesia).

Berikut ini logika bengkok dari Gumilar dan Djoko:
1. Klaim Djoko bahwa pemberian gelar ini sdh sesuai dengan prosedur yg berlaku perlu dicek kebenarannya. Coba bandingkan dengan pendapat Prof. Emil Salim (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada artikelnya di Harian Kompas.
2. Seandainya prosedur pemberian itu salah, adalah tidak mungkin mencabut kembali gelar tersebut dari Raja Arab Saudi (yg sudah diantarkan langsung ke Arab Saudi). Apakah pemerintah Indonesia akan melakukan hal tersebut ?
3. Seandainyapun prosedur sdh dianggap benar, maka prosedur itu harus direvisi karena menghasilkan keputusan yg tdk tepat dalam arti mengingkari rasa keadilan dan kemanusiaan masyarakat.
4. Klaim Gumilar bahwa penetapan pemberian gelar sdh diputuskan sebelum dijatuhkannya hukuman mati kepada Ruyati merupakan pernyataan menggelikan. Kasus penindasan hak asasi manusia atas tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi bukan hanya terkait Ruyati saja, masih ada ratusan atau ribuan kasus lainnya. Sehingga ini menjadi argumen yg tidak masuk akal.
5. Seandainya benar klaim Gumilar bhw penetapan sudah dilakukan sebelum hukuman mati kepada Ruyati, maka pertanyaannya kenapa keputusan itu tidak dibatalkan ? perlu dicatat bahwa keputusan hukuman mati Ruyati adalah Mei 2011 dan dieksekusi Juni 2011. Sedangkan penyerahan gelar dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri 1432H.

Sampai dengan detik ini saya masih belum bisa memahami logika berpikir Gumilar. Seorang teman bertanya kepada saya melalui pesan singkat sms, apa sih sebetulnya keuntungan atau tujuan Universitas Indonesia memberikan gelar tersebut kepada Raja Arab Saudi ? Satu pertanyaan yg hanya bisa dijawab sendiri oleh Gumilar.

No comments:

Post a Comment