Friday, August 10, 2012

Demokrasi Aneh di Negeri Orang Bodoh

Paska tahun 1998, negara kita sering disebut-sebut sudah menerapkan demokrasi dengan sangat baik.  Mungkin yang dimaksud adalah rakyat punya kebebasan yang besar, bebas memilih, bebas dipilih, bebas mencalonkan diri, bebas membuat partai politik dst. dst. 

Di satu sisi mungkin OK, tapi apa iya demokrasi seperti itu yang diinginkan atau yang dibutuhkan oleh negara kita ?

Pemilu Indonesia mungkin yang paling unik di dunia (atau paling aneh ?) sebab diikuti banyak sekali partai politik, bukan belasan tapi puluhan.  Jumlah partai politik bisa bertambah sewaktu-waktu, kalau dalam satu partai terjadi konflik internal, misalnya ada dua atau tiga tokoh sama-sama ingin mencalonkan diri jadi presiden, potensial sekali partai tersebut bakal pecah menjadi dua atau tiga.  Hal ini terbukti sudah terjadi, Hanura adalah "pecahan" dari Golkar setelah Wiranto tidak mendapat dukungan yang dia harapkan dari Golkar.  Demikian pula Partai Nasdem yang didirikan oleh Surya Paloh yang tadinya salah satu tokoh Golkar.

Berita terakhir saya baca di Koran Tempo edisi 9 Agustus 2012, Yenni Wahid sedang mengurus pembentukan Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) yang merupakan gabungan dari Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara dan Partai Indonesia Baru. 

Kenapa kira-kira rakyat Indonesia dan wakil-wakilnya ini begitu gemar mendirikan partai ?  Anda punya dugaan ?

Saya punya dugaan -hanya dugaan- bahwa hal konyol tersebut di atas terjadi karena siapapun yang membentuk partai pada saat proses pembentukan partai tersebut, pada dasarnya bukan berpikir tentang bagaimana mensejahterakan rakyat, bukan berpikir tentang bagaimana memajukan negara ini.  Para pendiri partai pertama-tama berpikir untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompoknya atau golongannya. 

Dalam perjalanan waktu, begitu sang pendiri partai mengalami konflik dengan pengurus yang lain, dan konflik tersebut berdampak langsung pada kepentingan pribadinya, maka perpecahan akan sulit dihindarkan.

Saya yakin hasilnya akan berbeda, jika sejak awal partai didirikan, seluruh elemen partai, para pendiri, para pengurus memusatkan seluruh perhatian pada kepentingan rakyat dan bangsa.  Tidak ada niat untuk -misalnya- memperkaya diri sendiri atau memberi keuntungan bagi golongan sendiri.

Coba kita bandingkan dengan Amerika Serikat.  Saya bukan pengagum Amerika Serikat, tapi harus diakui dalam banyak hal kita bisa belajar dari mereka. Sejak puluhan tahun di Amerika hanya ada 2 partai saja: Republik dan Demokrat.  Sejauh yang bisa saya lihat para kader di kedua partai ini solid dan saling mendukung. Menjelang pemilihan presiden misalnya, ada mekanisme internal masing-masing partai untuk memilih calon yang akan mewakili partai mereka dalam pemilihan presiden. Selama proses ini berlangsung akan terjadi kompetisi ketat di antara para calon, tapi begitu ditetapkan satu pemenang yang akan mewakili partai, maka pihak yang kalah secara ksatria akan mengakui dan menerima kekalahannya dan terhitung saat itu memberikan dukungannya penuh kepada rekan satu partai untuk maju bersaing melawan calon presiden dari partai lainnya.

Apakah hal serupa itu terjadi di Indonesia ? silakan lihat sendiri bagaimana proses pencalonan presiden di Indonesia. 

Sistem multipartai Indonesia menimbulkan masalah lain. Karena banyaknya partai yang berebut suara, akhirnya perolehan suara masing-masing juga tidak begitu besar.  Korelasinya dengan jumlah wakil yang menduduki kusi anggota DPR juga akan sedikit untuk masing-masing partai.  Katakanlah presiden yang terpilih berasal dari Partai Demokrat, dia akan didukung oleh wakil Partai Demokrat di DPR, nah karena jumlah anggota DPR dari Partai Demokrat juga tidak besar atau tidak mendominasi  maka presiden terpilih kemudian sibuk menggalang koalisi dari banyak partai supaya kekuasaannya aman, langgeng, tidak digoyang. Itulah yang terjadi pada SBY.

Kerugian lainnya adalah tingginya cost pelaksanaan Pemilu, semakin tinggi jumlah partai semakin tinggi costnya.  Berapa lembar kertas suara harus dicetak untuk mencakup seluruh lambang partai dan foto para Caleg ?

Aneh bin ajaib, begitu banyak kerugian dan keanehan dari mekanisme demokrasi di Indonesia, tidak ada satupun pihak yang mempermasalahkan atau minimal mempertanyakan hal itu.  Tidak ada misalnya gagasan untuk membatasi jumlah partai, minimal pembentukan partai baru harusnya tidak diijinkan lagi. Tidak ada usaha usaha untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlahnya.  Partai-partai yang sudah terlanjur terbentuk dianjurkan untuk bergabung.

Saya yakin penyederhanaan dan pengurangan jumlah partai dampaknya akan positif.   Para pengurus partai harusnya "dipaksa" untuk berpikir tentang rakyat negeri ini.  Harus dibuat mekanisme jika ada pengurus partai yang hendak mencari keuntungan diri sendiri, maka yang bersangkutan akan terlempar keluar dari partai dan tidak bisa membangun partai baru lagi karena pintunya memang sudah ditutup.

Konon hanya keledai yang jatuh terantuk berkali-kali pada satu lubang yang sama.

No comments:

Post a Comment