Wednesday, February 10, 2010

Punya Pesawat Kepresiden Sendiri Lebih murah ?

Belum jelas nih, apakah keinginan pemerintah memiliki pesawat kepresidenan sendiri itu didasari pada gaya hidup mewah atau memang pertimbangan ekonomis ?

Sudi Silalahi mengatakan bahwa membeli pesawat kepresidenan akan menghemat pengeluaran sebesar Rp 100 Milyar. Hitungan sederhananya seperti ini: harga sewa pesawat Rp 180 Milyar pertahun jadi untuk 5 tahun butuh Rp 900 Milyar, sedangkan harga pesawat US $ 85,4 Juta atau sekitar Rp 800 Milyar. Sehingga untuk kurun waktu 5 tahun, kita bisa berhemat Rp 100 Milyar dan pesawat masih bisa dipakai oleh presiden berikutnya.

Cara menghitung Sudi sepintas kelihatannya betul tapi sesungguhnya kurang tepat. Secara mikro atau dalam jangka pendek, mungkin benar, tapi secara makro atau jangka panjang masih bisa diperdebatkan.

Pertama, jika sewa pesawat, pemerintah menyewanya dari Garuda yg adalah perusahaan milik pemerintah, membayar pajak dan dividen ke pemerintah selaku pemilik saham. Artinya tidak ada istilah rugi di sini, karena bisa diibaratkan uang yg dibayarkan untuk sewa sekedar berpindah kantung saja dari anggaran kepresidenan masuk sebagai pendapatan Garuda.

Kedua, jika membeli pesawat, sudah pasti membelinya dari perusahaan luar negeri, mungkin Boeing atau Airbus. Justru di sini uang yg dikeluarkan pemerintah mengalir ke luar negeri, bukan ke kantung milik perusahaan sendiri. Meskipun dalam jangka waktu 5 tahun, total uang yang dikeluarkan lebih sedikit tapi uang tersebut mengalir ke Boeing atau Airbus. Sedangkan bila menggunakan pola sewa, uang sewa yg dikeluarkan bisa jadi lebih besar tapi mengalir masuk ke perusahaan milik sendiri yaitu Garuda.

Ketiga, dengan pola sewa biaya Rp 180 Milyar bertahun tentunya sudah bersifat nett/bersih. Bagaimana dengan pola membeli, selain biaya pembelian sebesar Rp 900 Milyar tentu ada biaya lain seperti biaya awak pesawat, bahan bakar, pemeliharaan, suku cadang, sewa hanggar dan sebagainya. Apakah komponen biaya ini sudah dihitung oleh Sudi ?

Keempat, seberapa tinggi intensitas presiden melakukan perjalanan dengan pesawat terbang ? seminggu sekali ?, sebulan sekali ?, hal ini tentu juga harus dipertimbangkan. Tentu harus diperhatikan juga bagaimana status pesawat pada saat tidak digunakan oleh presiden ?, apakah akan diparkir saja di hanggar ? Jika menggunakan pesawat sewa tidak akan muncul isu seperti ini, pesawat sewa adalah pesawat yg sehari-hari dioperasikan oleh Garuda, sehingga tentu bersifat produktif (ada penggunaan). Sedangkan pesawat kepresidenan jika presiden tidak ada perjalanan keluar maka pesawat hanya akan menganggur saja diparkir di hanggar.

Daripada mempertimbangkan hal ini, tidakkah lebih baik pemerintah fokus pada hal lain yang jauh lebih penting, misalnya bagaimana strategi menghadapi serbuan produk China paska diberlakukannya ACFTA ?

No comments:

Post a Comment